Pendapat akademisi Simon Philpott tentang politik Indonesia, ada benarnya. Politik kita dipenuhi ketidakpastian. Politik kita ibarat kuburan bagi para pengamat politik yang gagal membaca tanda-tanda zaman.
Marilah kita bercerita tentang Sandiaga Uno.
Niatnya adalah masuk arena pilpres. Dia pindah dari Gerindra. Padahal partai ini mengantarnya ke kursi DKI2, serta mencalonkannya ke posisi RI2 di tahun 2019. Namun, dia melihat masa depannya tidak jelas sebab partai itu tetap mendukung Prabowo, sang owner partai.
Sandiaga lompat ke PPP demi dicalonkan sebagai wapres. Dia langsung mendapat posisi penting sebagai Ketua Bappilu. Dia meninggalkan partai yang membesarkannya demi menjemput peluang di partai baru.
Dia pun ikut mengarahkan kemudi partai berlambang ka’bah itu untuk mendukung Ganjar, dengan harapan agar bisa mendampingi Ganjar, yang saat itu dianggap didiukung Jokowi. Lobi demi lobi dilakukan agar niat itu tercapai.
Partai itu ingin jadi yang tercepat. Petingginya menghitung kalau Presiden Jokowi akan terus berada bersama banteng. Dengan segera mendeklarasikan diri sebagai pendukung banteng, yang mencalonkan Ganjar, maka saham politik akan lebih besar.
Petinggi partai itu, Romy Romahurmuziy sering tampil di berbagai podcast. Dia terus menyampaikan analisis kalau Jokowi akan mendukung Ganjar, dan akan memilih wakil dari partainya sebagai bentuk rekonsiliasi politik.
Sayangnya, Romy luput membaca tanda-tanda alam. Daya tawar partai berlambang ka’bah di hadapan banteng rupanya tidak kuat. Banteng memilih sosok di luar partai yang dianggap merepresentasikan NU.
>> Baca Selanjutnya