Watch Unhas TV Live
Watch Unhas TV Live
Opini

Kemenangan Prabowo-Gibran adalah Kemenangan Rakyat Lapar

Darmadi Tariah16 Feb, 2024

Khusnul Yaqin

Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin

Kemenangan Prabowo hari ini adalah kemenagan yang sudah diramalkan oleh para surveyor kredibel. Setelah mereka mengetahui bahwa kepuasan rakyat Indonesia terhadap pemerintahan Jokowi sebesar 80%, para surveyor itu sudah yakin paslon siapa saja yang didukung Jokowi pasti dapat memenangkan pilpres. Hasil survei itu juga yang menjadi landasan Jokowi melakukan manuver-manuvernya dalam membuat gempa politik menjelang pilpres. 

Kalau kita lihat komposisi 80% yang puas terhadap pemerintahan Jokowi, sebagian besar adalah wong cilik yang kebutuhan dasarnya belum terpenuhi. Jokowi dan timnya sangat tahu itu. Mereka yang lapar tentunya tidak melihat urgensi dari apa yang diwacanakan – untuk tidak menyebut diributkan—tentang demokrasi dengan segala indeksnya untuk kehidupan mereka. Terminologi indeks demokrasi bagi rakyat kecil adalah terminologi yang sulit dimengerti dan bahkan jika kita lebih curiga sedikit, masyarakat yang lapar ini sudah tahu bahwa wacana demokrasi hanya menguntungkan kaum menengah ke atas, yang oleh Bambang Pacul disebut “korea-korea.” 

Pada kenyataannya, demokrasi saat ini hanya menguntungkan korea-korea. Dengan wacana demokrasi, korea-korea itu dapat mengais-ais uang dan dideposit ke tabungannya untuk kepentingan keluarganya. Korea-korea tidak pernah peduli kepada rakyat kecil, kecuali untuk kepentingan jabatan dan kedudukan lainnya di lembaga formal maupun informal. Korea-korea hanya peduli kepada rakyat kecil saat pilpres atau pileg. 

Data di atas sangat dimengerti oleh Jokowi dan timnya. Oleh karenanya Jokowi melakukan manuver di pinggir jurang pada konstelasi demokrasi untuk menggolkan rencana besarnya yang disebut dengan Indonesia Emas. Jokowi tidak peduli dengan serangan yang berbasis indeks demokrasi yang jeblok. Jokowi juga tidak peduli terhadap serangan pelanggaran etika saat menyandingkan Gibran dengan Prabowo. Semua wacana-wacana itu tidak akan memengaruhi kepuasan masyarakat kecil kepada Jokwoi secara signifikan. Untuk mengatasi serangan itu Jokowi cukup mengirim para ahli di bidangnya masing-masing guna menangkis serangan korea-korea yang lagi panik.

Bagi Jokowi yang harus diurusi adalah kepentingan rakyat kecil. Apa itu? Rasa lapar rakyat kecil yang susah cari kerjaan yang memadai hanya untuk memunuhi kebutuhan dasarnya yaitu makan. Sebagai ilustrasi, seorang penduduk urban punya pembantu yang begitu kesulitan makan di tempat tinggalnya hingga tidak pernah mau balik mudik. Bahkan menjelang lebaran dia selalu bilang lebih senang kalau tidak pulang kampung. Uangnya dia kirim untuk anaknya yang sekarang cukup memberinya harapan (Musa Kazhim, 2024). Masyarkat seperti ini jumlahnya tidak sedikit, bahkan mayoritas. Masyarkat seperti ini tentu tidak terlalu peduli dengan kualitas demokrasi atau kepentingan-kepentingan korea-korea yang lain (Musa Kazhim, 2024). 

Jokowi kembali melakukan manuver di pinggir jurang, dia membagikan bansos ke masyarakat yang lapar dengan menggunakan kekuasaannya. Prabowo-Gibran programnya cuma joget-joget dan makan gratis. Paslon lain mengejek program itu pada awalnya. Tapi dua hal itu, joget dan makan gratis, adalah kebutuhan yang diinginkan rakyat kecil. Mereka, rakyat kecil, susah memenuhi kebutuhan itu, joget = hiburan, dan makan = bertahan hidup.

Jokowi berargumen bahwa bansos yang dibagikan adalah karena ada faktor El nino yang mengakibatkan harga-harga pangan melonjak.  Bansos ini juga sudah disetuji oleh DPR, sehinga ia legal. Inilah kepiawaaian Jokowi dalam mengobservasi situasi sekaligus memanfaatkannya. El nino yang seharusnya bisa dijadikan senjata lawan politiknya, justru dibalik sebagai senjata Jokowi untuk memenangkan Prabowo-Gibran.

Stratgei Jokowi ini terbukti sakti, elektabilitas Prabowo-Gibran menanjak tak terkejar. Ganjar-Mahfud dipaksa untuk puas dengan suara PDIP 16 % saja. Ganjar-Mahfud tentu tidak bisa meniru strategi Jokowi. Selain Ganjar Mahfud tidak punya kuasa, juga akan dicemooh jika sekadar meniru strategi Jokowi. 

Akhirnya Ganjar-Mahfud menawarkan pendidikan dan internet gratis. Tawaran ini khas cara berpikir korea-korea. Korea-korea itu setelah selesai S1, bawaannya langsung cari beasiswa supaya bisa sekolah gratis. Untuk cari beasiswa butuh kuota internet. Makanya korea-korea itu lebih memilih selain Prabowo-Gibran, karena menawarkan kebutuhan korea-korea yaitu pendidikan dan internet gratis. 

Bagi rakyat tidak ada perlunya sekolah, karena dalam persepsi rakyat kecil ujung dari sekolah adalah dapat uang ala kadarnya untuk bertahan hidup, supaya bisa makan. Rakyat kecil belum bercita-cita menjadi korea-korea, sekolah S1, S2, S3, lalu menjadi pejabat publik, anggota dewan atau pengusaha-pengusaha. Oleh karenanya, paslon pilihan mereka adalah paslon dengan tawaran program yang dapat memenuhi hajat hidupnya yaitu makan gratis, agar tidak kelaparan. 

Rakyat yang lapar juga tidak memilih Anies-Muhaimin, karena mereka kontra dengan Jokowi yang telah merebut hatinya. Lagi-lagi yang memilih Anies-Muhaimin adalah korea-korea yang sedari awal memusuhi dan membenci Jokowi. Oleh karenanya, ketika Anies-Muhaimin mengusung jargon perubahan, mereka langsung sambut dengan gegap gempita.

Hari ini Quick Count (QC) menunjukkan bahwa Prabowo-Gibran di angka hampir 60%. Angka ini menarik sekaligus mengerikan. 60% kira-kira adalah rakyat yang lapar. Kalau tidak setuju dengan asumsi itu, anggap saja angka 60% itu dikurangi 10 % yang merupakan korea-korea pendukung fanatik prabowo, maka 50% dari pemilih Prabowo-Gibran adalah rakyat yang susah memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu pangan. Korea-korea itu lupa, di sekitarnya banyak sekali mereka yang susah memenuhi hajat hidupnya. Di sekeliling kita banyak mereka yang lapar ternyata. Padahal kita asyik dengan ritus-ritus keagamaan, bahkan mengideologisasi pilihan-pilihan berbasis agama.

Untuk menunju cita-cita Indonesia Emas 2045, Prabowo-Gibran harus all out bertransformasi dari kelompok korea-korea menjadi hikmat sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila, “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat,” yaitu orang yang sudah selesai pada dirinya sendiri dan tidak terpengaruh oleh hiruk pikuk korea-korea. Mereka berdua harus fokus dan fokus mensejahterakan rakyat Indonesia, bukan korea-korea. Jika tidak seperti itu, mereka berdua adalah korea-korea yang sedang beruntung menggunakan kekuasaan untuk “menselepet” rakyat lapar.