MAKASSAR, UNHAS.TV - Gelombang penolakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan (PBB-P2) terus bergulir di sejumlah wilayah Indonesia.
Setelah warga di Pati memprotes, giliran Bone menjadi panggung kemarahan. Ratusan orang turun ke jalan, menuntut pemerintah daerah meninjau ulang kebijakan yang dianggap mencekik rakyat.
Andi Ali Armunanto, dosen Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, menilai kegaduhan ini tak berdiri sendiri.
Menurutnya, kenaikan PBB terjadi serentak di berbagai daerah karena adanya kebijakan pusat yang memangkas transfer dana ke daerah.
“Tahun 2026 nanti, transfer ke daerah tinggal sekitar Rp600 triliun. Banyak pemerintah daerah panik karena tak punya cukup dana untuk membayar pegawai dan membiayai pembangunan. Jalan tercepat ya menaikkan PBB,” katanya.
Namun strategi ini berbenturan dengan realitas di bawah. Masyarakat tengah dihimpit inflasi, sulitnya lapangan pekerjaan, hingga daya beli yang merosot.
“Beban itu ditambah dengan lonjakan PBB, ada yang sampai 600 persen. Wajar kalau kemarahan muncul di mana-mana,” ujar Andi Ali.
Bagi daerah metropolitan seperti Jakarta atau Makassar, penopang anggaran datang dari sektor usaha dan transportasi. Tapi bagi daerah lain yang nyaris sepenuhnya bergantung pada pusat, pengurangan dana alokasi setara ancaman bangkrut.
"Di Indonesia memang tidak ada istilah bangkrut. Tapi banyak daerah yang pengeluarannya lebih besar dari pendapatannya, lama-lama justru jadi beban nasional,” kata Andi Ali.
Di Bone, mantan bupati dua periode, Dr Andi Fahsar M. Padjalangi, menilai pemerintah daerah sebetulnya masih punya ruang mengambil langkah bijak.
“Menarik tarif itu sah-sah saja, sepanjang melalui kajian dan mempertimbangkan kepentingan bersama. Kalau bupati menunda, saya kira itu sudah sejalan,” ujarnya.
Gelombang penolakan dari warga kini menjadi ujian bagi pemerintah daerah dalam mencari jalan tengah yakni membiayai pembangunan tanpa menambah beban rakyat, sembari merespons pengurangan dana transfer dari pusat.
(Rizka Fraja /Unhas.TV)