Kesehatan
Sosial

Ketika Musik Menyentuh Hati, Begini Penjelasan Lagu Mengatur Suasana Jiwa?

UNHAS.TV - Di sudut kafe kampus Universitas Hasanuddin, seorang mahasiswa tampak menatap kosong ke layar laptopnya. Di telinganya terpasang earphone putih, samar terdengar lantunan lagu dari band favoritnya.

Sesekali ia tersenyum kecil, di lain waktu matanya tampak berkaca. Lagu demi lagu memutar kenangan, membangkitkan perasaan yang bahkan sulit ia gambarkan.

Pernahkah Anda mengalami hal serupa? Tiba-tiba tersenyum saat mendengar lagu lama yang pernah menemani masa SMA, atau seketika larut dalam kesedihan ketika alunan musik minor menyentuh ruang-ruang batin terdalam?

Lantas mengapa musik, yang tak lebih dari rangkaian nada, tetapi bisa sebegitu kuat mengguncang suasana hati?

“Musik itu bahasa emosi,” kata Dwiana Fajriati Dewi SPsi MSc, dosen Psikologi di Universitas Hasanuddin, saat ditemui di ruang kerjanya.

“Unsur-unsur dalam musik seperti ritme, chord, dan lirik berkontribusi besar dalam membentuk pengalaman emosional,” lanjutnya.

Menurutnya, chord mayor sering dikaitkan dengan perasaan gembira, sedangkan chord minor lebih melankolis dan mampu memancing kesedihan.

Tak hanya itu, beat atau ketukan dalam musik juga memainkan peran fisiologis: semakin cepat ritmenya, semakin cepat pula detak jantung dan produksi adrenalin, membuat seseorang merasa lebih energik atau bahkan gugup.

“Musik yang cepat bisa membangkitkan semangat, sedangkan yang lambat sering kali membuat kita tenang, bahkan menangis,” ujar Dwiana.

Ia menekankan bahwa setiap individu merespons musik dengan cara berbeda, tergantung pada pengalaman dan kondisi psikologis mereka saat mendengarkannya.



dosen Psikologi Unhas Dwiana Fajriati Dewi SPsi MSc. (dok unhas.tv)


Namun demikian, Dwiana tidak melihat munculnya emosi negatif dari musik sebagai sesuatu yang harus dihindari.

Dalam dunia psikologi, ia menyebut istilah katarsis — proses pelepasan emosi yang terpendam. Mendengarkan lagu sedih, bagi sebagian orang, justru menjadi jalan untuk melepaskan beban emosi secara sehat.

“Kalau seseorang merasa lega setelah menangis karena lagu, itu tandanya musik telah menjadi media katarsis,” katanya. “Dan itu positif.”

Fenomena ini menjelaskan mengapa sebagian orang justru mencari lagu-lagu yang menyedihkan ketika merasa hampa atau tertekan.

Bukan karena ingin larut dalam kesedihan, tapi karena mereka ingin menghadapi dan melepaskannya. Musik menjadi cermin emosi yang membantu seseorang memahami dan menerima perasaannya sendiri.

Musik, pada akhirnya, bukan hanya alat hiburan. Ia menjadi semacam terapi yang tak bersyarat, yang hadir kapan saja, di mana saja, tanpa menghakimi.

Lagu cinta yang pilu, musik jazz yang hangat, atau dentuman elektronik yang memompa semangat,  semua punya perannya masing-masing dalam lanskap emosi manusia.

Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh tekanan, musik menjelma ruang teduh. Ia mengajak kita berhenti sejenak, merasakan, dan kadang kala menyembuhkan.

“Mau senang, sedih, marah, atau rindu, ada lagu untuk semua itu,” kata Dwiana. “Itulah kekuatan musik. Ia bicara langsung ke hati,” lanjutnya.

(Muh. Syaiful / Unhas.TV)