
Di kalangan ulama Buton tempo dulu, pemahaman ini justru ditempatkan dalam kerangka tasawuf. Semakin dekat seseorang kepada Tuhan (opoopoti oputa), semakin ia memahami rahasia perjalanan ruh. Para ahli tarekat menempatkan pengetahuan tentang “asal-usul ruh” (ilmu kejadian) sebagai kunci mengenal diri dan mengenal Tuhan, sejalan dengan tradisi sufistik yang mereka warisi.
Schoorl mencatat, perdebatan pernah terjadi pada 1939. Seorang kepala kampung di Bau-Bau yang menjadi anggota Muhammadiyah menegaskan kematian adalah akhir.
Kepala kampung Nganganaumala menantangnya: di mana ayat yang melarang reinkarnasi? Perdebatan memuncak ketika seorang haji, Abdullah, mengutip ayat tentang “perpindahan hidup dari mati dan mati dari hidup” dan menegaskan bahwa ayat itu berbicara tentang “masuknya” hidup ke dalam mati, bukan “penggantian” hidup oleh mati. Si penentang terdiam.
Bagi masyarakat Buton, perdebatan teologis seperti itu tidak pernah benar-benar memutus keyakinan. Mereka tidak merasa perlu memamerkan kepercayaan ini, tetapi juga tidak merasa wajib menutupinya.
Selama ayat-ayat suci masih bisa dibaca sebagai jembatan, reinkarnasi akan terus hidup di sela-sela zikir, doa, dan kelahiran baru di tanah Buton.
Dampak Modernisasi
Meski masih lestari, Schoorl melihat keyakinan ini mulai terdesak. Sejak 1960-an, penyebaran Islam ortodoks melalui sekolah, literatur resmi, dan aparat Kementerian Agama mulai merapikan batas-batas ajaran.
“Di masa depan, bisa jadi ia hanya bertahan dalam bentuk cerita atau ritual keluarga, bukan lagi keyakinan yang hidup,” ujarnya.
Namun, selama masih ada anak yang lahir dengan tatapan yang “terlalu dewasa untuk usianya,” cerita-cerita ini akan terus dibisikkan dari generasi ke generasi.
Tatapan seperti itu, bagi orang Buton, bukan sekadar keindahan mata bayi, melainkan tanda bahwa ada sesuatu yang lebih tua bersemayam di baliknya, sebuah jiwa yang pernah berjalan di bumi ini, mengenal suka dan duka, lalu memilih jalan pulang melalui tubuh mungil yang baru memulai hidup.
Di ruang-ruang tamu dan beranda rumah panggung, para orang tua akan membicarakannya dengan nada setengah berbisik, seolah takut mengusir roh yang singgah.
Mereka akan mengaitkan senyum tertentu dengan kebiasaan seorang leluhur, atau melihat gerakan tangan sebagai pengulangan masa lalu. Di setiap kelahiran yang dianggap “kepulangan,” masa lalu dan masa kini bersentuhan tanpa batas, dan garis waktu menjadi lingkaran.
Bagi masyarakat Buton, kematian bukanlah ujung, melainkan pintu berputar yang membawa roh kembali ke halaman rumahnya sendiri. Dalam keyakinan ini, setiap kelahiran adalah sambungan cerita yang belum tuntas, dan setiap tatapan bayi yang terlalu matang untuk usianya adalah undangan untuk mengingat bahwa hidup dan mati hanyalah dua sisi dari perjalanan yang sama.
Seperti kata Jalaluddin Rumi, penyair sufi dari abad ke-13: "What is lost is, in truth, never gone. It only changes form, waiting to be recognized again." Apa yang tampak hilang, sesungguhnya tidak pernah pergi. Ia hanya berganti bentuk, menunggu untuk dikenali kembali.
Bagi orang Buton, setiap bayi yang lahir dengan mata yang menyimpan cahaya masa lalu adalah bukti bahwa yang hilang memang tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya pulang dengan cara yang berbeda.(*)
*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat