Media pada hari
Minggu melaporkan bahwa Pemimpin Korea Utara, dalam sebuah pertemuan penting
partai pada akhir tahun untuk mengevaluasi kebijakan tahun 2024 dan membahas
rencana untuk tahun depan, termasuk berjanji untuk memberikan ‘tanggapan keras’
atas kehadiran militer AS serta latihan-latihan militer di Semenanjung Korea.
Pyongyang menganggap tindakan-tindakan ini
sebagai provokasi dan upaya untuk mengintimidasi serta mengekang mereka. Peningkatan
latihan militer bersama dan penyebaran sistem senjata canggih di kawasan
tersebut dilihat oleh Pyongyang sebagai bukti sikap agresif Washington dan
sebagai latihan untuk potensi serangan terhadap Korea Utara.
Menurut laporan Kantor Berita Pusat Korea
Utara (KCNA), Komite Sentral Partai Buruh Korea (WPK) mengadakan pertemuan dari hari Senin
hingga Jumat, minggu lalu, yang dipimpin oleh Kim Jong Un, pemimpin Korea
Utara.
Komite Sentral
Partai Buruh Korea (WPK) adalah partai
aktif tertua di negara tersebut sekaligus partai terbesar yang diwakili di
Majelis Rakyat Tertinggi.
Pertemuan ini
menghasilkan resolusi yang mengutuk Amerika Serikat dan sekutunya karena
dianggap telah menjadi blok militer nuklir agresif. Para petinggi partai dan pemerintah memutuskan bahwa Korea Utara
akan memakai strategi paling keras untuk menghadapi Amerika Serikat demi
keamanan dan kepentingan nasionalnya.
Kantor berita
Korea Utara tersebut menggambarkan Amerika Serikat sebagai negara yang “paling
reaksioner” di dunia dan menegaskan bahwa kebijakan anti-komunisnya merupakan
ancaman langsung terhadap keamanan nasional Pyongyang.
Kim Jong Un menyerukan penyesuaian taktik
perang untuk menghadapi ‘perubahan strategi perang musuh’ dan memerintahkan
peningkatan kapasitas militer secara terus-menerus.
Korea Utara juga mengkritik kerja sama
militer antara Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Jepang yang dianggap
memperburuk ketegangan di kawasan. Pemimpin Korea Utara menggambarkan kerjasama
itu sebagai perluasan blok militer nuklir. Mereka juga menuduh Korea Selatan
telah menjadi pos anti-komunis untuk Amerika Serikat.
Pemimpin Korea Utara juga berkomitmen untuk
meningkatkan hubungan dengan negara-negara sahabat. Ia menyerukan kemajuan
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi pertahanan untuk memperkuat kemampuan
pencegahan perang negaranya.
Perlu dicatat bahwa sesi pleno ke-11 Komite
Sentral Partai Buruh Korea mengakhiri tahun 2024, di mana Vladimir Putin,
Presiden Rusia, bertemu dengan Kim Jong Un dan menandatangani kesepakatan yang
mencakup komitmen pertahanan bersama. Hubungan Korea Utara dengan Rusia
ditandai oleh kepentingan strategis bersama dan oposisi terhadap pengaruh
global Amerika Serikat.
Pyongyang memandang Rusia sebagai sekutu
berharga dalam upayanya untuk menjaga keamanan dan pembangunan, karena kedua
negara telah mengalami sanksi ekonomi dan isolasi politik akibat pembangkangan
terhadap norma-norma yang diberlakukan AS.
Korea Utara melihat AS sebagai kekuatan
imperialis yang bermusuhan yang berupaya merongrong kedaulatan dan keamanannya.
Pandangan ini sejalan dengan keluhan Rusia terhadap tatanan dunia yang dipimpin
AS.
Di sisi lain, Amerika Serikat dan Barat
menuduh Korea Utara telah mengirim ribuan pasukan ke front Ukraina dan membantu
mesin perang Rusia.
Selain itu, selama pertemuan tersebut, Pak
Thae- song diangkat sebagai Perdana Menteri baru Korea Utara menggantikan Kim
Tok Hun.
Pergantian kepemimpinan ini mencerminkan
upaya Kim Jong Un untuk menyesuaikan diri dengan apa yang ia anggap sebagai
ancaman eksternal yang semakin meningkat.(*)