JAKARTA, UNHAS.TV - Kuasa Hukum Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron, Ario Montana, mendesak Dewan Pengawas (Dewas) KPK untuk mematuhi putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang mengabulkan permohonan Ghufron terkait proses sidang etik pada Senin (20/5/2024) lalu.
Dalam putusan sela, PTUN Jakarta memerintahkan Dewas KPK untuk menunda pembacaan putusan sidang kode etik dan pedoman perilaku Nurul Ghufron.
"Kalau kita lihat dalam putusan sela perkara 142, Hakim telah membuat pertimbangan dan menilai bahwa organisasi KPK harus menunda pemeriksaan perkara tersebut," kata Ario di Jakarta, Selasa (21/5/2024).
Ario menegaskan bahwa Dewas KPK harus tunduk pada aturan tersebut sehingga mesti menunda pemeriksaan atas perkara etik Ghufron hingga proses pemeriksaan administrasi di PTUN selesai.
Ia juga mengingatkan bahwa berdasarkan putusan yang terdaftar dengan nomor perkara: 142/G/TF/2024/PTUN.JKT, Dewas KPK wajib mematuhi keputusan tersebut sebab memiliki implikasi hukum.
"Kami selaku kuasa hukum akan terus mengawal perkara PTUN ini. Harapannya, Dewas untuk mentaati hasil keputusan sela dari PTUN dan SOP yang telah mereka buat. Jangan memaksakan hal yang di luar kewenangan dan kapasitas, karena itu tentu dapat berakibat hukum," pungkas Ario.
Ario menggarisbawahi bahwa Dewas KPK memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang mereka buat sendiri dan harus diikuti. Sehingga tudingan kepada kliennya bahwa telah melakukan intervensi terhadap Kementan yang telah berlaku lebih dari setahun lalu tidak dipaksakan menjadi pelanggaran etik.
"Ada aturan mengenai batas waktu kadaluarsa pemeriksaan oleh Dewas KPK, yaitu selama 1 tahun. Jika memang Dewas yang menciptakan aturan tersebut, maka harus ditaati. Jangan memaksakan perkara yang sudah lewat 1 tahun," ujarnya.
Dengan tegas, Ario mengingatkan bahwa Dewas KPK harus menjadi contoh yang baik dalam mentaati aturan hukum dan SOP yang telah mereka tetapkan sendiri, demi menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap lembaga anti-korupsi tersebut. (*)