Opini

Masa Depan dan Keberlanjutan Sidrap: Menunggu atau Membentuk?




Kedua, ekonomi hijau dan inovatif. Transformasi ekonomi harus berorientasi pada agroindustri, pertanian organik, dan ekowisata. Jangan hanya menjual beras, tapi juga olahan pangan. Jangan hanya mengenang situs religius, tapi kemas jadi wisata spiritual.

Ketiga, digitalisasi dan kewirausahaan lokal. Anak muda Sidrap harus dipicu jadi wirausahawan digital. Mereka bisa jadi pembuat platform lokal, pemasar produk, hingga pencipta konten budaya Sidrap yang positif dan mendunia.

Keempat, kepemimpinan transformasional dan partisipatif. Sidrap butuh pemimpin yang visioner, bukan sekadar pengelola jabatan. Pemimpin yang berani mengambil keputusan tidak populer demi keberlanjutan, yang melibatkan masyarakat dalam proses, bukan mendominasi dari atas.

Mewarisi Spirit Nene’ Mallomo

Petuah legendaris Nene’ Mallomo, “Resopa natemmangingngi namalomo naletei pammase dewata,” tak sekadar kata mutiara. Ia adalah filosofi kerja keras, integritas, dan harapan. Masa depan bukan sekadar soal teknologi dan infrastruktur, tetapi tentang nilai yang menghidupkan keduanya.

Pembangunan masa depan bukanlah proyek satu orang atau satu institusi. Ia adalah kerja kolaboratif antara pemerintah, kampus, dunia usaha, pesantren, tokoh adat, dan masyarakat sipil.

Tanpa narasi bersama, pembangunan hanya akan jadi tumpukan proyek yang cepat usang. Maka perlu disusun “Narasi Besar Sidrap Masa Depan”—sebuah visi lintas sektor yang menjahit tradisi dengan inovasi, menempatkan keadilan generasi sebagai jantungnya, dan menjadikan keberlanjutan sebagai orientasi utama.

Apa yang terjadi di Sidrap hari ini adalah hasil dari pilihan kolektif. Apakah kita memilih menunggu dan merespons, atau membentuk dan menginisiasi?

Masa depan bukan hadiah. Ia lahir dari keberanian, kerja keras, dan imajinasi. Dan Sidrap punya semuanya: alam, budaya, nilai, dan semangat.

Yang dibutuhkan sekarang adalah arah. Dan keberanian untuk melangkah.

Jika Sidrap memilih untuk membentuk masa depannya sendiri, maka ia bukan hanya menjaga tanah kelahirannya—tapi ikut menulis bab penting dalam sejarah pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. Jika 2045 adalah impian nasional, maka Sidrap bisa jadi salah satu penggeraknya. 

*Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Hasanuddin