News

Masri, Manusia Silver, dan Kota yang Tak lagi Membisu

UNHAS.TV Matahari belum terbit sempurna ketika Masri membuka pintu gerbang UPT Rumah Penampungan dan Trauma Centre (RPTC) Dinas Sosial Kota Makassar.

Di halaman, dua anak lelaki bermain bola plastik yang sudah kehilangan bentuk. Seorang gadis kecil duduk di sudut, memeluk boneka tanpa mata. Semua hening. Tapi ada kehidupan yang sedang dipulihkan.

“Tak ada anak yang bercita-cita menjadi manusia silver,” ucap Masri lirih. Ia tak sedang menyesali realitas. Ia sedang menyentuh sisi terdalam dari persoalan sosial yang kerap hanya kita lihat sepintas, dari balik kaca mobil yang tergesa.

Masri bukan orang baru dalam urusan kemanusiaan. Sejak masih kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, hingga menjadi Kepala UPT RPTC, pria yang kerap disapa Acha ini sudah terbiasa bergelut dengan isu-isu sosial, turun langsung ke komunitas, menyusuri lorong-lorong kota, dan mendengar suara-suara yang tak terwakili. 

Beberapa waktu lalu, catatannya di Unhas TV tentang seorang ibu yang akhirnya bertemu kembali dengan keluarganya setelah puluhan tahun terpisah, viral di media sosial. Bukan karena kisahnya dramatis, tapi karena Masri menuliskannya dengan empati yang tak dibuat-buat.

BACA: Reuni Mengharukan, Setelah 50 Tahun, Dia kembali ke Selayar

Dunia jalanan bukan sekadar ruang tanpa atap. Ia adalah ruang tanpa kepastian, tanpa perlindungan, dan sering kali, tanpa suara. Di sanalah 100 Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) dijangkau oleh Dinas Sosial Kota Makassar hingga pertengahan Juni 2025.

Mereka bukan sekadar angka: 50 anak jalanan, 40 gepeng, 7 pengguna lem aibon, 3 anak terlantar, 31 manusia silver, dan 6 badut jalanan. Mereka adalah wajah kota yang selama ini tersembunyi di balik keramaian.

“Kami tidak hanya menyelamatkan mereka dari jalanan, tetapi berusaha memahami mengapa mereka sampai ke sana,” ujar Masri. Kalimat itu bukan jargon. Ia adalah pengakuan dari seorang yang setiap hari melihat luka, tetapi juga harapan yang masih bisa tumbuh.

Menurutnya, proses rehabilitasi tidak cukup hanya dengan memberi makan atau tempat tinggal sementara. Yang terpenting justru memahami trauma dan latar belakang sosial mereka.

“Banyak di antara mereka yang kehilangan arah karena tidak pernah mendapatkan kesempatan. Maka tugas kami adalah memberi mereka kesempatan kedua, meski kecil,” tambahnya.

Ada satu hal yang membuat Masri gelisah. Sebagian besar anak jalanan, manusia silver, dan gepeng yang mereka temui tidak memiliki dokumen kependudukan. Tanpa KTP, tanpa Kartu Keluarga, tanpa akta kelahiran. Mereka menjadi invisible citizens—hidup di kota tapi tak pernah benar-benar diakui negara.

“Dokumen-dokumen itu kelihatannya sepele, tapi itu syarat dasar untuk bisa bersekolah, berobat, bahkan sekadar diakui sebagai warga. Tanpa itu, mereka akan terus terperangkap dalam lingkaran eksklusi,” kata Masri.

Untuk itu, Dinas Sosial Makassar tidak berhenti pada penyelamatan. Mereka mengambil langkah administratif yang kerap terabaikan: mengurus dokumen, menjembatani komunikasi dengan dinas terkait, bahkan mendampingi ke rumah sakit atau sekolah. “Kita tidak bisa hanya menyelamatkan tubuh mereka. Kita harus memulihkan martabat mereka sebagai manusia,” ujarnya.

Makassar di bawah kepemimpinan Munafri Arifuddin dan Aliyah Mustika Ilham—Appi-Aliyah—menjadikan “Makassar Bebas Anak Jalanan” sebagai janji politik sekaligus komitmen kemanusiaan. Tapi bagi Masri, ini lebih dari sekadar program.

“Kadang kami tidak berhasil mengubah semua. Tapi jika satu anak bisa kembali ke sekolah, satu manusia silver bisa pulang ke rumahnya, satu pengguna lem bisa berhenti menghirup racun—maka kami tahu, pekerjaan ini tidak sia-sia,” tuturnya.

Di ruang kecil RPTC, seorang anak menggambar rumah dengan pintu terbuka. Di atasnya, matahari bersinar. Ia mungkin belum tahu tentang birokrasi, tentang anggaran, atau peraturan. Tapi ia tahu satu hal: di tempat ini, untuk pertama kalinya, ia merasa aman.

Dan mungkin, itulah makna terdalam dari kebijakan sosial: bukan sekadar menghapus anjal dari pandangan, tapi mengembalikan suara mereka ke dalam ruang kemanusiaan kota.

Sebab kota yang baik bukanlah kota yang bersih dari gelandangan. Kota yang baik adalah kota yang memberi tempat bagi semua warganya—termasuk mereka yang pernah tersesat di trotoar dan lampu merah. Kota yang belajar mendengar kembali suara-suara yang pernah dibungkam.

Dan di tengah kota yang sibuk merayakan pembangunan, Masri berjalan diam-diam di sela bayang-bayang. Ia tak sekadar bekerja. Ia menyelamatkan kemanusiaan—satu per satu—dari pinggir jalan.

Dari lampu merah. Dari tubuh yang dipenuhi cat silver. Dari jiwa-jiwa kecil yang nyaris hilang arah. Ia mendengarkan mereka ketika tak seorang pun peduli. Ia hadir di tempat di mana harapan paling rawan padam. Dan di sanalah, cahaya kembali dinyalakan.