oleh: Masri Tajudin Ros*
Pertemuan itu berlangsung di Pulau Selayar, pulau yang dikelilingi laut biru dan angin asin yang lembut. Di beranda rumah kayu beratap seng, dua perempuan lansia saling berpelukan dalam diam.
Yang satu menangis dalam pelukan yang lama ia impikan, yang satu lagi memandangi wajah adiknya yang selama ini hanya hidup dalam cerita dan rindu.
“Iyo, Dek… saya Denda, kakakmu,” bisik perempuan tua itu, suaranya nyaris hilang ditelan isak.
Ibu Mumu tak mampu menjawab. Tubuhnya gemetar. Air matanya menetes pelan, membasahi bahu kakaknya. Ia memejam, menghafal aroma rumah, udara pulau, dan dada hangat kakak kandung yang lima puluh tahun tak pernah ia temui.
Hari itu, langit Selayar seakan turut bersaksi pada pertemuan paling penting dalam hidupnya.
***
Semuanya bermula saat Mumu masih balita. Ia tak tahu banyak, hanya tahu bahwa suatu hari ia dibawa pergi dari tanah kelahirannya. Di Jakarta, ia tumbuh dalam rumah yang dingin, bersama orang tua yang memanggilnya “anak” tapi memperlakukannya lebih sebagai beban.
Ia tidak tahu bahwa orang-orang itu bukan ayah ibunya. Ia tak tahu bahwa kehidupannya telah dicabut dari akar.
Bertahun-tahun kemudian, saat kedua orang tua angkatnya wafat, seorang tetangga menyerahkan secarik kertas kusam. Kertas itu mengandung pengakuan: bahwa ia bukan anak kandung mereka, bahwa ia berasal dari Pulau Selayar, bahwa keluarganya masih mungkin hidup—entah di mana.

Hatinya berguncang. Tapi ia tak punya daya. Tak ada uang, tak ada harta. Ia hanya tahu, ia harus menabung. Ia bekerja serabutan, dari pagi hingga malam, mengumpulkan rupiah demi rupiah. Ia hidup dalam ketabahan, dengan satu harapan: pulang.
Hingga suatu hari, seseorang datang—mengaku dari Selayar. Katanya, ada pekerjaan di Makassar, dan setelah itu akan dibantu menuju kampung halaman. Mumu, dengan harapan yang membuncah, mengikutinya.
Tapi ternyata ia masuk ke jerat yang lebih gelap. Di Makassar, ia dipaksa bekerja apa saja. Mengemis, mencuci, menjadi asisten rumah tangga tanpa bayaran. Semua hasil keringatnya disita.
Bahkan secarik kertas yang menjadi satu-satunya petunjuk tentang asal-usulnya pun ikut hilang, dirampas "orang itu". Ia hidup tanpa kendali atas tubuh, waktu, dan masa depannya.
Hingga suatu malam, tubuhnya menyerah. Ia ditemukan warga tergeletak di pinggir jalan. Kurus, pucat, nyaris tak bernyawa.
Warga membawanya ke puskesmas, lalu dirujuk ke Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Dinas Sosial Makassar.
Di sana, tubuhnya dirawat, jiwanya dipeluk. Diagnosa dokter menyebutkan hepatosplenomegali—pembesaran hati dan limpa karena anemia kronis. Ia kehilangan darah, kehilangan semangat, tapi belum kehilangan harapan.
>> Baca Selanjutnya