MAKASSAR, UNHAS.TV - Gelombang demonstrasi besar-besaran masih terjadi di sejumlah daerah hingga Selasa (2/9/2025). Isu kenaikan tunjangan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi pemicu utama kemarahan massa.
Tidak hanya menolak rencana kenaikan tunjangan, para demonstran juga melontarkan tuntutan ekstrem yakni pembubaran DPR.
Aksi yang berlangsung sejak tanggal 25 Agustus itu mencapai puncaknya pada 30 Agustus lalu. Massa yang turun ke jalan tak sekadar mengibarkan spanduk dan berorasi. Mereka membakar gedung dan fasilitas umum.
Itu sebagai simbol kekecewaan terhadap lembaga legislatif yang dinilai gagal menjalankan mandat rakyat. “DPR sudah tidak lagi mewakili kepentingan rakyat, justru sibuk mengurus kantongnya sendiri,” teriak seorang orator dalam aksi unjuk rasa.
Desakan pembubaran DPR kontan menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagian mendukung dengan alasan lembaga legislatif kerap abai terhadap aspirasi rakyat. Namun tak sedikit pula yang menilai tuntutan itu berlebihan dan sulit diwujudkan secara hukum.
Pengamat politik Universitas Hasanuddin (Unhas), Ali Armunanto, menilai wacana pembubaran DPR tidak mustahil, tetapi memang prosesnya amat rumit. Menurut dia, keberadaan DPR telah diatur secara fundamental dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
“Kalau kita bicara pembubaran DPR, maka harus meninjau kembali dasar negara dan konstitusi. Itu bukan pekerjaan singkat, bisa memakan waktu puluhan tahun,” kata Ali saat ditemui unhas.tv, Rabu, 2 September 2025.
Ali mengingatkan, sistem ketatanegaraan Indonesia berdiri di atas tiga pilar kekuasaan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jika fungsi legislatif dihapus, mekanisme pembentukan undang-undang akan kehilangan pijakan.
“Apakah negara kita siap menjadi seperti Uni Emirat Arab, negara tanpa parlemen, yang dipimpin oleh seorang emir?” ujarnya.
Ali menilai ada jalan yang lebih realistis ketimbang membubarkan DPR, yakni merevitalisasi partai politik. Menurutnya, kualitas anggota dewan sangat bergantung pada proses kaderisasi di partai.
Sayangnya, revitalisasi partai jarang dilakukan, bahkan kaderisasi kerap mandek dan banyak anggota parpol yang merupakan pindahan dari partai lain yang bermasalah. Sehingga melahirkan calon legislatif yang tidak berkualitas.
“Yang bisa dilakukan adalah mendorong fungsi DPR, merekrut kader yang benar-benar berkualitas, dan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Kalau sistemnya mau dibongkar, itu pekerjaan generasi, bukan satu-dua tahun,” kata Ali.
Revitalisasi partai politik, lanjutnya, akan memperkuat akuntabilitas dan transparansi lembaga legislatif. Dengan begitu, DPR tetap bisa menjalankan fungsinya sebagai representasi rakyat tanpa harus dibubarkan.
“Kalau partai sehat, maka wakil rakyat yang lahir dari partai itu juga berkualitas. Ujungnya, kebijakan yang dihasilkan lebih pro-rakyat,” ucapnya.
Meski demikian, gelombang demonstrasi belum menunjukkan tanda mereda. Di beberapa kota, aksi masih berlangsung dengan pengawalan ketat aparat kepolisian.
Pemerintah hingga kini belum memberikan pernyataan resmi terkait desakan pembubaran DPR. Sementara terkait kenaikan tunjangan yang terus menjadi bahan perdebatan publik, Presiden Prabowo meminta kebijakan itu dihentikan.
Di tengah situasi ini, pengamat menekankan perlunya dialog terbuka antara pemerintah, DPR, dan masyarakat. “Kalau tidak, jurang ketidakpercayaan publik terhadap lembaga negara akan semakin dalam,” ujar Ali menutup pernyataannya.
(Zulkarnain Jumar Taufik / Rahmatia / Unhas.TV)