MAKASSAR, UNHAS.TV - Satu meme yang melibatkan dua tokoh politik nasional kembali viral di media sosial dan menyulut perdebatan publik lantaran dianggap tidak senonoh oleh sebagian pihak.
Sementara pihak lain menilai jika meme juga memiliki peran sebagai alat kritik dalam demokrasi, bagaimana mahasiswa Universitas Hasanuddin menilai hal tersebut.
Dalam kehidupan politik modern, meme telah menjadi senjata baru bagi generasi muda untuk menyampaikan pesan-pesan kritis.
Di antara mereka, generasi Z punya cara sendiri untuk bersuara. Lewat gambar-gaambar satir, mereka tidak hanya menghibur, tetapi juga menyentil kekurangan pemerintah.
Rachmad Ramadhan Alhidayat, salah seorang mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Hasanuddin (Unhas) melihat meme sebagai wadah ekspresi demokratis yang efektif. Ia menilai meme menjadi penyeimbang lantaran banyak kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat.
"Kritik lewat meme itu penting karena jadi senjata alternatif. Di negara demokrasi, kita punya hak menyampaikan pendapat dan banyak kebijakan yang menurut saya tidak pro rakyat, jadi meme bisa jadi penyeimbang," kata Rachmad Ramadhan.
Namun, tidak sedikit pula yang mengingatkan bahwa meme meski ringan, bisa menimbulkan salah paham ketika tidak disertai narasi yang memadai. Faizur Ridho, mahasiswa Imu Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin menggarisbawahi potensi misinterpretasi. Hal ini lantaran meme dinilainya tidak memuat kritik secara utuh.
"Memang lebih mudah diakses dan dicerna tapi masalahnya meme itu seringkali tidak memuat kritik secara utuh. Akibatnya, bisa disalahartikan," kata Faizur.
Meme kini menjadi aset komunikasi generasi muda yang tidak hanya menghibur namun juga mengkritisi. Meme dalam konteks internet dan budaya populer adalah ide, perilaku, atau gaya yang menyebar melalui peniruan dari satu orang ke orang lain. Istilah meme itu sendiri berasal dari bahasa Yunani "mimeme" yang berarti sesuatu yang ditiru.(*)
Rizka Fraja (Unhas TV)