Pendidikan

Menata Ulang Kesehatan Publik di Era Krisis Iklim: FKM Unhas Hadirkan Antropolog Dunia dari Amsterdam

Peserta Kuliah Tamu Internasional FKM Unhas berfoto bersama Prof. Eileen Moyer dari University of Amsterdam usai sesi “Public Health in a Climate-Changing World: Rethinking Risk Across Species and Scales” di Aula Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Peserta Kuliah Tamu Internasional FKM Unhas berfoto bersama Prof. Eileen Moyer dari University of Amsterdam usai sesi “Public Health in a Climate-Changing World: Rethinking Risk Across Species and Scales” di Aula Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.

MAKASSAR, UNHAS.TV— Dunia sedang demam—bukan karena virus, melainkan karena suhu yang terus naik, udara yang menipis, dan bumi yang kehilangan keseimbangannya. Di tengah perubahan besar ini, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (FKM Unhas) tampil sebagai ruang refleksi ilmiah melalui Kuliah Tamu Internasional bertema “Public Health in a Climate-Changing World: Rethinking Risk Across Species and Scales.”

Kegiatan yang menghadirkan Prof. dr. E.M. (Eileen) Moyer dari Department of Anthropology, University of Amsterdam, The Netherlands, ini bukan sekadar kuliah lintas benua. Ia menjadi panggung bagi pertukaran gagasan tentang masa depan kesehatan publik dalam dunia yang terus berubah oleh iklim—sebuah wacana yang menuntut manusia untuk melihat ulang posisi dirinya di antara spesies lain dan ekosistem yang rapuh.

Meneguhkan Kolaborasi Ilmiah di Tengah Krisis Global

Sebagai bagian dari peringatan Dies Natalis ke-43 FKM Unhas, kegiatan ini dibuka oleh Prof. Dr. Atjo Wahyu, S.KM., M.Kes. dan Prof. Anwar Mallongi, S.KM., M.Sc.PH., Ph.D., yang menegaskan bahwa kesehatan kini tak lagi berdiri sendiri. “Krisis iklim adalah krisis kesehatan,” ujar Prof. Atjo, menekankan perlunya kolaborasi lintas disiplin dan lintas bangsa untuk memahami kompleksitas tantangan global yang saling terkait.

Dr. Dian Sidik Arsyad, S.KM., M.KM., Ph.D., Ketua Departemen Epidemiologi dan alumnus Belanda, menambahkan bahwa forum akademik semacam ini menjadi momentum untuk memperkuat jejaring ilmiah antara Unhas dan universitas di Eropa. “Riset global dimulai dari dialog lintas budaya. FKM Unhas siap menjadi jembatan pengetahuan antara selatan dan utara dunia,” ujarnya.

Suasana Kuliah Tamu Internasional FKM Unhas bertema “Public Health in a Climate-Changing World: Rethinking Risk Across Species and Scales” bersama Prof. Eileen Moyer dari University of Amsterdam, yang berlangsung di ruang rapat FKM Unhas. Kegiatan ini menjadi ajang dialog ilmiah lintas disiplin tentang kesehatan masyarakat dan perubahan iklim, dihadiri oleh dosen, mahasiswa, dan peneliti dari berbagai departemen.
Suasana Kuliah Tamu Internasional FKM Unhas bertema “Public Health in a Climate-Changing World: Rethinking Risk Across Species and Scales” bersama Prof. Eileen Moyer dari University of Amsterdam, yang berlangsung di ruang rapat FKM Unhas. Kegiatan ini menjadi ajang dialog ilmiah lintas disiplin tentang kesehatan masyarakat dan perubahan iklim, dihadiri oleh dosen, mahasiswa, dan peneliti dari berbagai departemen.


Membaca Gejala Iklim, Mendiagnosis Kesehatan Planet

Selama 90 menit sesi interaktif yang dipandu oleh Basir, S.KM., M.Sc. dari Departemen Kesehatan Lingkungan, Prof. Moyer memaparkan perspektif antropologis tentang keterhubungan antara perubahan iklim, penyakit, dan perilaku manusia.

Ia menjelaskan bahwa krisis iklim bukan sekadar bencana lingkungan, tetapi juga “penyakit sosial” yang memperlihatkan bagaimana sistem ekonomi, budaya, dan ekologi saling memengaruhi. “To rethink public health in a climate-changing world means to recognize that human wellbeing is deeply intertwined with the health of ecosystems and other species,” tuturnya.

Pendekatan lintas spesies (multi-species approach) yang diangkat Prof. Moyer mengajak peserta memahami kesehatan tidak hanya dari tubuh manusia, tetapi dari jaring kehidupan secara menyeluruh—dari air, udara, tanah, hingga makhluk lain yang berbagi ruang hidup di bumi.

Prof. Eileen Moyer dari University of Amsterdam menerima sertifikat penghargaan usai menyampaikan kuliah tamu internasional bertema “Public Health in a Climate-Changing World: Rethinking Risk Across Species and Scales” di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
Prof. Eileen Moyer dari University of Amsterdam menerima sertifikat penghargaan usai menyampaikan kuliah tamu internasional bertema “Public Health in a Climate-Changing World: Rethinking Risk Across Species and Scales” di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.


Dari Kampus ke Komunitas: Menyentuh Realitas Lokal

Dalam sesi dialog, para dosen dan mahasiswa FKM Unhas berbagi pengamatan empiris dari lapangan: meningkatnya penyakit berbasis lingkungan seperti demam berdarah, diare, dan infeksi kulit akibat suhu ekstrem serta perubahan pola curah hujan.

Persoalan sampah plastik juga menjadi sorotan tajam. Para peserta menilai bahwa mikroplastik kini telah menjadi ancaman tersembunyi dalam air minum, udara, bahkan makanan. Mereka menyerukan riset kolaboratif dan kebijakan tegas untuk mengurangi ketergantungan terhadap plastik sekali pakai serta memperkuat pendidikan lingkungan di sekolah dan komunitas.

Menata Ulang Arah Ilmu dan Kepemimpinan Akademik

Dekan FKM Unhas, Prof. Sukri Palutturi, S.KM., M.Kes., MSc.PH., Ph.D., dalam sambutannya menegaskan bahwa kuliah tamu ini bukan sekadar transfer ilmu, tetapi refleksi moral universitas terhadap isu kemanusiaan global. “Kesehatan publik bukan hanya urusan laboratorium, tetapi urusan bumi dan nurani. Kita perlu melihat kesehatan sebagai keadilan ekologis,” ujarnya.

Para peserta sepakat bahwa masa depan kesehatan publik bergantung pada kemampuan manusia untuk membangun solidaritas ekologis—sebuah kesadaran bahwa keberlangsungan hidup manusia tidak mungkin dipisahkan dari keseimbangan alam.

Menjadi Pusat Wacana Kesehatan Global dari Timur Indonesia

Melalui kegiatan ini, FKM Unhas menegaskan perannya sebagai salah satu poros pemikiran kesehatan masyarakat di Asia Tenggara. Forum akademik ini bukan hanya memperluas jaringan ilmiah, tetapi juga memperkaya kesadaran kolektif bahwa sains, etika, dan lingkungan harus bersatu dalam satu visi: menjaga kehidupan.

Dari kampus di Makassar, gema ilmiah itu menggema hingga Amsterdam dan dunia—bahwa dari Timur Indonesia, lahir pandangan baru tentang kesehatan planet: sehatnya manusia bergantung pada sehatnya bumi.(*)