Lingkungan
News
Pendidikan

Potensi Besar Pati Lokal Sulsel Jadi Peluang Emas bagi Petani, tapi Indonesia Masih Impor Produk Olahan

Ketua Prodi Teknologi Industri Pertanian Unhas Prof Dr Ir Amran Laga MS. (dok unhas.tv)

MAKASSAR, UNHAS.TV - Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan sumber pati alami terbesar di dunia. Namun, ironisnya, sebagian besar produk turunan pati justru masih diimpor dari luar negeri.

Kondisi tersebut disoroti oleh Guru Besar Unhas Prof Dr Ir Amran Laga MS yang juga Ketua Prodi Teknologi Industri Pertanian Unhas, dalam program siniar Unhas Speak Up.

“Kita punya potensi pati yang besar, tapi industri lebih cenderung mengimpor pati termodifikasi. Di sisi lain, kita malah mengekspor pati alami seperti sagu dan tapioka,” ungkap Prof. Amran.

Menurutnya, Sulawesi Selatan memiliki potensi besar untuk menjadi pusat pengembangan pati lokal. Wilayah ini memiliki beragam sumber bahan baku seperti singkong, sagu, jagung, talas, dan ubi jalar.

Semua bahan tersebut dapat dimodifikasi menjadi produk bernilai tinggi jika didukung oleh teknologi dan kebijakan yang tepat.

“Pati lokal kita yang paling potensial adalah tapioka, ubi kayu, ubi jalar, talas, dan sagu. Itu semua sumber pati melimpah di daerah kita,” jelasnya.

Sayangnya, teknologi pengolahan di tingkat masyarakat masih terbatas. Sebagian besar petani hanya menjual pati dalam bentuk mentah tanpa pengolahan lanjutan.

“Masyarakat sebenarnya bisa melakukan modifikasi sederhana di tingkat petani, tapi kendalanya di peralatan. Pemerintah perlu memberikan contoh dan fasilitasi agar mereka bisa memproduksi pati setengah jadi,” ujar Prof. Amran.

Padahal, jika petani diberdayakan untuk memproduksi pati modifikasi sederhana, nilai ekonominya bisa meningkat berlipat.

“Kalau hanya bahan baku yang diharapkan, maka sampai kapan pun produk mereka akan sama saja. Tidak ada nilai tambah yang diperoleh petani,” katanya.

Ia menilai, dengan pendampingan dari perguruan tinggi dan dukungan kebijakan dari pemerintah daerah, Sulawesi Selatan dapat menjadi model pengembangan industri pati lokal nasional.

Lebih lanjut, Prof. Amran menekankan pentingnya membangun rantai nilai dari hulu ke hilir. Petani sebagai produsen bahan baku harus terlibat dalam ekosistem industri agar tidak hanya menjadi pemasok murah, tetapi juga bagian dari rantai produksi bernilai tinggi.

“Kalau misalnya hanya bahan baku yang diharapkan, nilai tambah akan dinikmati negara lain. Jadi harus ada peran pemerintah dan perguruan tinggi yang memfasilitasi agar petani juga memperoleh manfaat dari hasil modifikasi pati,” tegasnya.

Dengan potensi sumber daya yang melimpah, dukungan riset dari Unhas, dan keterlibatan aktif pemerintah, Prof. Amran optimistis Indonesia bisa beralih dari sekadar eksportir bahan mentah menjadi produsen utama pati termodifikasi dunia.

“Indonesia kaya sumber daya, tapi kita harus berani bertransformasi. Kalau kita bisa memanfaatkan pati lokal secara optimal, kita bukan hanya mandiri pangan, tapi juga bisa bersaing di pasar global,” tutup Prof. Amran.

(Rahmatia Ardi / UnhasTV)