UNHAS.TV - Di balik sosok mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Hasanuddin (Unhas) bernama Andi Mutia Inaya Salsabila, atau akrab disapa Naya, tersimpan cerita perjalanan yang inspiratif. Bagi Naya, menjadi mahasiswa berprestasi bukanlah sekadar ajang adu gelar.
“Waktu mendaftar menjadi mahasiswa berprestasi tuh tujuannya bukan bagaimana caranya saya bisa juara satu, tapi bagaimana pada akhirnya ini membantu saya menjadi versi diri yang lebih baik,” ujarnya tenang.
Kalimat itu menggambarkan filosofi hidup Naya: prestasi bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk terus berkembang.
Sejak SMA, Naya dikenal sebagai siswi berprestasi. Ia mendapat predikat eligible 1 MIPA, sebuah posisi yang sering diidentikkan dengan jalan mulus menuju Fakultas Kedokteran. Namun, alih-alih memilih jalur itu, Naya memilih jalannya sendiri.
“Ekspektasi orang-orang tuh pasti ke pendidikan dokter. Tapi saya coba refleksi, apakah pilihan itu karena keinginan sendiri atau sekadar memenuhi ekspektasi orang lain,” kenangnya.
Dalam proses memilih jurusan, ia membuat daftar panjang: psikologi, pendidikan dokter, hingga teknik perencanaan wilayah kota. Setelah mempertimbangkan prospek, peluang, hingga berdiskusi dengan orang tua, ia mantap memilih psikologi Unhas.
Ada alasan filosofis di baliknya: psikologi Unhas berorientasi pada pendekatan humanistik, sesuatu yang selaras dengan pengalaman organisasinya di SMA.
“Rasanya lebih hidup kalau bisa bersosialisasi dalam kelompok yang punya visi. Di psikologi, ada bidang industri dan organisasi yang relevan banget dengan minat saya,” tutur Naya.
Pilihan Naya juga tak lepas dari faktor keluarga. Ibunya, ayahnya, hingga kakaknya adalah alumni Unhas. “Ada stigma positif soal Unhas. Jadi, ketika memilih, rasanya seperti melanjutkan tradisi keluarga,” katanya.
Namun, ekspektasi awal Naya tentang psikologi cukup sederhana: ia mengira hanya berputar pada konseling atau kesehatan jiwa. Nyatanya, jauh lebih luas. Dari psikologi industri, sosial media, hingga psikologi kematian, semuanya membuka cakrawala baru.
Mata kuliah andragogi menjadi pengalaman yang paling membekas. “Itu ngajarin kita bagaimana belajar sebagai orang dewasa. Dari teacher-centered ke student-centered. Kita belajar manajemen waktu, mengenali diri sendiri, bahkan menulis kelebihan dan kekurangan. Itu bridging banget dari SMA ke kuliah,” jelasnya.
Tak jarang, ia menghadapi anggapan bahwa mahasiswa psikologi bisa membaca pikiran orang. Naya menanggapinya dengan senyum.
“Kita bukan cenayang. Yang kita lakukan observasi, misalnya gerakan mata atau ekspresi tubuh. Itu pun hanya membantu memprediksi kecenderungan perilaku, bukan membaca pikiran,” tegasnya.
Menurutnya, stigma semacam itu justru membuka ruang untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya ilmu psikologi.
Forum OSIS Majene: Dari Nasional ke Daerah
>> Baca Selanjutnya