UNHAS.TV - Andi Riska Rospati semula mengira Administrasi Publik hanya soal surat-menyurat. Di benaknya, jurusan itu seperti ruang arsip: rapi, tenang, tanpa hitung-hitungan yang membuat dahi mengernyit.
Ternyata ia keliru besar. Di kampus, ia berhadapan dengan birokrasi, politik, manajemen, hingga kebijakan publik—topik yang jauh lebih bising dari sekadar mengetik kop surat.
Yang membuat ceritanya menarik bukan semata karena ia kini mahasiswa Administrasi Publik Universitas Hasanuddin (Unhas). Melainkan karena jurusan itu, pada mulanya, bukan pilihan yang ia banggakan.
Riska datang ke Administrasi Publik dari jalur yang berliku: didorong ekspektasi orang tua, gagal di pilihan yang ia anggap “lebih cocok”, lalu mendarat di jurusan yang ia sebut sebagai “pilihan terakhir”.
“Administrasi publik itu pilihan terakhir saya,” kata Riska, tenang, seolah sedang menceritakan rute bus yang belakangan ia pahami.
Ia berasal dari jurusan sains di sekolah. Di rumah, orang tua sempat mendorongnya ke jalur yang dianggap “pasti”—kedokteran, ilmu pengetahuan, pilihan yang umum dijadikan jalan aman.
Riska mencoba. Ia juga sempat mengincar ilmu komunikasi dan hubungan internasional. Tapi “itu bukan keberuntungan saya,” ujarnya dalam program siniar Unhas Story, awal November 2025 lalu.
Lalu ia menurunkan standar, katanya, dan mendaftar Administrasi Publik melalui jalur tes (SNBT). Ia diterima.
Justru dari “pilihan terakhir” itulah ia mengolah sebuah kebiasaan: menukar keraguan dengan kerja keras, menukar rasa takut dengan tanggung jawab.
Di berbagai kesempatan akademik dan sosial, Riska tampil bukan sebagai mahasiswa yang sekadar hadir untuk menyelesaikan SKS. Ia tercatat sebagai duta bahasa dan duta literasi, juga aktif sebagai delegasi internasional.
Serangkaian peran itu mengubah pandangannya—tentang kampus, tentang diri sendiri, dan tentang apa yang sebenarnya bisa dikerjakan seorang mahasiswa ketika ia berani mengambil bagian.
Datang dari Dorongan, Bukan Panggilan
Di keluarga, pilihan pendidikan sering kali berkelindan dengan rasa aman: jurusan “bergengsi” dianggap meminimalkan risiko masa depan. Riska merasakan itu.
Orang tua berharap ia mengambil jalur sains, kedokteran, atau bidang-bidang yang tampak lebih pasti. Tetapi Riska menilai, kepastian yang dipaksakan justru bisa menjadi pintu buntu.
Ia memilih untuk menentukan arah sendiri, meski harus menerima konsekuensi: masuk jurusan yang awalnya ia tempatkan sebagai opsi terakhir.
Di titik ini, kisah Riska seperti mengingatkan bahwa pendidikan tidak selalu dimulai dari “panggilan hati”. Kadang ia dimulai dari kompromi. Namun kompromi bukan berarti menyerah.
Dalam kasus Riska, kompromi justru menjadi awal dari proses menemukan “minat yang tumbuh”—bukan minat yang langsung hadir sejak awal.
Ketika kuliah berjalan, ia segera sadar, Administrasi Publik bukan wilayah yang dangkal. Ia tidak hanya belajar prosedur, melainkan juga memahami bagaimana kekuasaan bekerja dalam ruang publik.
Ia juga belajar bagaimana birokrasi memengaruhi layanan warga, dan mengapa kebijakan sering kali meleset ketika dirancang tanpa perspektif lapangan. Pelajaran itu memperluas cara pandangnya: urusan publik tidak pernah sesederhana formulir.
Kuliah yang Menguras, Sekaligus Membentuk
Jika ada satu fase yang paling menandai pergulatannya sebagai mahasiswa, Riska menyebut Metode Penelitian. Ia masuk kelas dengan asumsi sederhana: penelitian hanya soal memilih pendekatan kualitatif atau kuantitatif.
Namun ia dihadapkan pada statistik dan perangkat analisis seperti SPSS—bagian yang sering dianggap “momok” oleh banyak mahasiswa ilmu sosial.
Bagi Riska, fase ini bukan sekadar tantangan teknis. Ia menjadi semacam “ruang pembentukan”, memaksa dirinya disiplin, teliti, dan tidak mudah puas dengan jawaban yang mengambang.
Kecemasan akademik—yang biasanya disembunyikan mahasiswa di balik candaan—justru ia jadikan bahan bakar. Ia belajar bahwa ketakutan bukan alasan untuk berhenti; ia hanya sinyal bahwa seseorang sedang memasuki wilayah baru.
Panggung lain datang ketika ia ikut program delegasi internasional di tiga negara. Di sana, pekerjaan dibagi berbasis kelompok dan tema regional.
Timnya membahas isu daerah terpinggirkan—wilayah yang sering disebut 3T: tertinggal, terdepan, terluar. Presentasi dilakukan dalam format campuran, sebagian berbahasa Inggris, sebagian berbahasa Indonesia.
Riska tidak menutupi keterbatasannya. Ia mengakui bahasa Inggrisnya tidak sefasih peserta lain. Tapi ia mengubah keterbatasan itu menjadi strategi.
Ia berlatih, menyiapkan materi, menghafal alur, dan—yang paling penting—membekali argumen dengan data relevan.
Baginya, berbicara di depan delegasi internasional bukan soal gaya, melainkan soal isi. Kepercayaan diri bukan sesuatu yang jatuh dari langit; ia dibangun dari persiapan yang brutal.
Kerja keras itu berbuah. Riska meraih pengakuan sebagai pembicara terbaik. Prestasi ini menegaskan satu hal, peluang internasional tidak selalu dimenangkan oleh mereka yang paling fasih, tapi kadang dimenangkan oleh mereka yang paling siap.
Mengambil Peran Besar untuk Pelajaran Lebih Besar
>> Baca Selanjutnya
Andi Riska Respati, Duta Bahasa Berbakat Sulselbar 2025 dan Duta Literasi Unhas. (dok unhas tv)


-300x205.webp)
-300x156.webp)




