News
Program
Unhas Speak Up

Menghidupkan Kembali Semangat Ekonomi Kerakyatan, Evaluasi Kritis Program Koperasi Desa Merah Putih

undefined

UNHAS.TV - “Koperasi itu kekeluargaan,” ujar Guru Besar Fakultas Ekonomi (FEB) Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Dr H Muhammad Asdar SE MSi CWM membuka perbincangan sore itu di studio Unhas TV.

Kalimat sederhana itu terasa akrab, namun sarat makna. Koperasi, bagi ekonom dari Universitas Hasanuddin ini, bukan sekadar lembaga ekonomi, melainkan gerakan sosial yang bertumpu pada solidaritas dan keadilan bersama.

Dalam program Unhas Speak Up edisi khusus, Prof Asdar hadir membahas topik hangat: Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes Merah Putih), sebuah program nasional ambisius yang digagas pemerintah untuk menghidupkan kembali semangat ekonomi kerakyatan di tingkat desa.

Program ini resmi diluncurkan pada Hari Koperasi Nasional, 12 Juli 2025, oleh Presiden Prabowo Subianto, dengan target membentuk 80.000 koperasi di seluruh desa dan kelurahan di Indonesia.

Angka itu mendekati total jumlah desa dan kelurahan yang ada menurut data BPS 2024, yakni sekitar 83.000. Visi besarnya adalah pemerataan ekonomi melalui kemandirian lokal, sebuah cita-cita yang sejalan dengan Asta Cita Presiden, membangun Indonesia dari pinggiran.

Namun, seperti diakui Prof. Asdar, realitas di lapangan masih jauh dari harapan. Termasuk dalam pembentukannya tak semudah membalikkan tangan. 

Di Sulawesi Selatan, misalnya, dari 3.059 Kopdes Merah Putih yang telah terbentuk, hanya 38 unit yang benar-benar aktif menjalankan fungsi ekonominya. Angka ini menggambarkan tantangan besar: banyak koperasi berdiri di atas kertas, tetapi belum beroperasi nyata.

“Ini bukan hanya soal jumlah, tapi soal keberlanjutan dan efektivitas. Koperasi seharusnya hidup karena gerakan, bukan hanya karena proyek,” tegas Prof. Asdar. 

Fenomena itu menandakan ada persoalan mendasar: sumber daya manusia (SDM), tata kelola, dan mitigasi risiko.

Menurutnya, koperasi berbeda dari badan usaha lain seperti PT. Prinsip dasar koperasi adalah “one man, one vote”, bukan “one share, one vote.” Artinya, setiap anggota memiliki hak suara yang sama, tanpa memandang besar kecilnya modal yang ditanamkan.

“Banyak orang lupa bahwa koperasi bukan tempat mencari untung sebesar-besarnya. Koperasi adalah wadah untuk berbagi manfaat,” ujarnya. 

Jejak Sejarah dan Semangat Awal

Koperasi telah lama menjadi bagian dari perjalanan bangsa. Di Indonesia, jejak awalnya muncul di Purwokerto tahun 1896, sebelum kemerdekaan, dan menemukan momentumnya pada Kongres Koperasi Pertama di Tasikmalaya, 12 Juli 1947, yang menetapkan Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia.

Namun semangat gotong royong itu perlahan memudar. Modernisasi ekonomi, ekspansi kapitalisme, dan kurangnya regenerasi membuat banyak koperasi kehilangan ruhnya. Kini, lewat Kopdes Merah Putih, pemerintah berupaya menyalakan kembali bara yang hampir padam.

“Harapannya mulia,” kata Prof. Asdar. “Tapi pembentukannya harus hati-hati. Jangan sampai koperasi hanya menjadi nama tanpa jiwa.”

Salah satu kendala utama adalah minimnya kapasitas sumber daya manusia di tingkat desa. Banyak aparat desa atau pengurus koperasi yang belum memahami prinsip dasar perkoperasian.

Tak jarang, posisi strategis diisi berdasarkan kedekatan politik atau kekerabatan, bukan kompetensi.

“Ketua koperasi jangan hanya karena dia istri kepala desa atau pegawai kelurahan,” kata Prof. Asdar dengan nada tegas.

“Cari orang yang paham koperasi, mungkin pensiunan atau mantan pengurus yang sudah berpengalaman,” tegas Rektor Universitas Cokroaminoto Makassar (UCM) periode 2017-2021 ini.

Selain SDM, tata kelola (governance) juga menjadi sorotan. Menurutnya, pengelolaan koperasi harus berpegang pada prinsip Good Corporate Governance — transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab.

Apalagi, dana yang digunakan sebagian besar bersumber dari APBN, APBD, dan pinjaman bank negara (Himbara), bukan hibah.

Karena itu, manajemen keuangan harus dilakukan secara hati-hati. “Pinjaman itu harus dikembalikan. Jangan main-main dengan uang rakyat,” ucapnya.

Namun kehati-hatian itu, lanjutnya, jangan sampai menimbulkan kelambanan. “Belajar sambil berjalan. Learning by doing. Jalan dulu, sambil disempurnakan.”

Dari Kapitalisme ke Solidaritas

>> Baca Selanjutnya