News
Program
Unhas Speak Up

Menghidupkan Kembali Semangat Ekonomi Kerakyatan, Evaluasi Kritis Program Koperasi Desa Merah Putih



Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unhas Prof Muhammad Asdar. (dok unhas.tv)


Koperasi lahir sebagai reaksi terhadap kapitalisme abad ke-19. Pada tahun 1844 di Inggris Utara, sekelompok buruh membentuk Rochdale Society of Equitable Pioneers, yang menjadi model koperasi modern dunia. Prinsip dasarnya adalah kebersamaan, kejujuran, dan pendidikan anggota.

Semangat inilah yang seharusnya menjadi jiwa koperasi di Indonesia, bukan sekadar formalitas administratif.

“Koperasi adalah gerakan sosial, ekonomi, dan budaya. Dia mengangkat harkat manusia, bukan sekadar menaikkan angka pendapatan,” jelas Prof. Asdar. 

Itu sebabnya, indikator keberhasilan koperasi tidak bisa hanya diukur dari laba, melainkan tingkat partisipasi anggota.

“Kalau anggotanya belanja di tempat lain, ya rugi. Mereka harus bangga jadi pemilik koperasi. “Karena di koperasi, anggota adalah pemilik sekaligus pelanggan, dual identity principle,” katanya. 

Sebagian besar Kopdes Merah Putih yang telah dibentuk memang belum beroperasi karena belum menerima dana awal. Program ini masih dalam tahap pencairan, di mana Himbara (bank-bank BUMN) menyalurkan pembiayaan untuk sekitar 1.000 koperasi perintis.

Pemerintah berharap perputaran dana itu menciptakan efek ganda di desa: menumbuhkan perdagangan, produksi, dan konsumsi lokal.

“Kalau jalan dengan baik, ada 3–5 miliar rupiah beredar di setiap desa. Itu bisa menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dari bawah,” ungkap Prof. Asdar.

Ia menambahkan, peran perguruan tinggi sangat penting dalam pendampingan dan pelatihan. Universitas Hasanuddin, misalnya, telah diminta pemerintah menyiapkan tim ahli untuk membantu peningkatan kapasitas SDM koperasi desa.

“Perguruan tinggi harus turun ke lapangan,” ujarnya. “Kita bantu melatih pengurus, menyesuaikan dengan asas dan prinsip koperasi.”

Belajar dari Masa Lalu

Prof. Asdar mengingatkan, program serupa sebenarnya pernah dijalankan pada masa Orde Baru lewat Koperasi Unit Desa (KUD) dan Kredit Usaha Tani (KUT).

Saat itu, koperasi terbukti mampu menjadi motor ketahanan pangan nasional. Indonesia bahkan mencapai swasembada beras pada 1984.

Namun, di sisi lain, sejarah juga mencatat banyak kegagalan akibat kredit macet dan lemahnya pengawasan. Karena itu, ia menekankan pentingnya strategi mitigasi risiko agar kegagalan serupa tidak terulang.

“Kalau koperasi punya kapasitas usaha 1 miliar, jangan dikasih pinjaman 3 miliar,” katanya lugas. “Bisa mati dia.”

Menutup perbincangan, Prof. Asdar menggarisbawahi satu pesan penting: desa adalah fondasi ekonomi nasional.

“Kalau desa sejahtera, Indonesia sejahtera,” ujarnya. “Karena sebagian besar penduduk kita masih tinggal di desa.”

Menurutnya, keberhasilan program Kopdes Merah Putih harus dilihat sebagai proses panjang. Tidak bisa diukur dalam hitungan bulan, melainkan minimal tiga tahun ke depan. Selama periode itu, pelatihan, penyesuaian, dan penyempurnaan harus terus dilakukan.

“Program ini harus dilanjutkan, tapi sambil disempurnakan,” tegasnya. “Jangan buru-buru disimpulkan gagal hanya karena baru berjalan.”

Di tengah era ekonomi digital dan persaingan global, konsep koperasi sering dianggap usang. Namun, bagi Prof. Asdar, justru di sanalah relevansinya. Koperasi menawarkan model ekonomi alternatif yang menekankan solidaritas, pemerataan, dan keberlanjutan sosial.

“Di luar negeri, semua pakai koperasi,” katanya menutup perbincangan. “Di Jepang, Australia, bahkan di Harvard University, toko suvenirnya koperasi kampus. Jadi kenapa kita tidak bisa?”

Membangun 80.000 koperasi mungkin terdengar seperti tugas raksasa. Tapi sebagaimana prinsip yang diwariskan Bung Hatta, koperasi bukan sekadar organisasi ekonomi, melainkan perwujudan kepribadian bangsa.

Jika dikelola dengan baik — dengan pendidikan, pengawasan, dan semangat kebersamaan — Koperasi Desa Merah Putih bisa menjadi lompatan baru menuju kemandirian desa dan pemerataan nasional.

Atau seperti kata Prof. Asdar dengan nada optimistis, “Ini bukan sekadar program. Ini adalah gerakan kebangsaan untuk menegakkan kembali ekonomi rakyat Indonesia.” (*)