Kesehatan
News
Program

Mengurai Dampak Bencana, Peran Penting Penolong Jiwa Pertama dan Ini Bedanya dengan Trauma Healing?

Tri Sugiarti, seorang Ilmuwan Psikologi dan Pendidik dari Dompet Dhuafa, pada 'kelas siaga' di Unhas TV. (dok unhas tv)

UNHAS.TV - Dampak bencana bagi kesehatan mental ibu dan anak dapat berupa stres akut, kecemasan, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD), yang bisa memengaruhi kesejahteraan fisik dan emosional mereka.

Anak-anak lebih rentan karena ketergantungan, pemahaman terbatas, dan bisa mengalami mimpi buruk serta masalah tidur. Sementara ibu hamil berisiko mengalami komplikasi kehamilan seperti kelahiran prematur dan depresi pascapersalinan. 

Itulah kondisi yang diungkapkan Tri Sugiarti, seorang Ilmuwan Psikologi dan Pendidik dari Dompet Dhuafa, pada 'kelas siaga' di Unhas TV.

"Terkadang, yang dibutuhkan oleh jiwa yang terluka, akibat bencana besar yang merenggut segalanya, atau badai emosi pribadi, bukanlah ceramah yang panjang. Bukan pula perbandingan penderitaan," ujar Tri Sugiarti.

Tapi yang dibutuhkan adalah kehadiran yang menenangkan, sebuah jangkar empati di tengah lautan kekacauan. "Di sinilah letak jantung dari disiplin yang sering disalahartikan, Psychological First Aid (PFA) atau Pertolongan Pertama Psikologis," ujar Tri Sugiarti.

Kita sering pula mendengar istilah trauma healing setelah bencana. Namun, Tri Sugiarti, menjelaskan sebuah dikotomi penting. "Dua hal ini sebenarnya itu berbeda, First Aid dan trauma healing merupakan dua hal ini jauh sangat berbeda," tegasnya.

Trauma healing adalah proses penyembuhan mendalam, sebuah domain yang secara spesifik ditangani oleh para profesional seperti psikolog. Sementara itu, Dukungan Psikososial atau PFA, adalah garis pertahanan pertama.

PFA, seperti pertolongan pertama fisik, adalah keahlian yang dapat dan harus dimiliki oleh semua orang. Ini adalah tindakan kemanusiaan yang bersifat sekuler (universal) yang berfokus pada menyediakan kenyamanan, dukungan praktis, dan ketenangan.

“Kadang yang dibutuhkan itu bukan nasihat panjang, Teman-teman, tapi pendampingan yang menenangkan.”

Bukan Sekadar Psikolog, Tetapi Penolong yang Hadir

Lebih jauh, Tri Sugiarti, yang keilmuannya banyak bersinggungan dengan ranah kemanusiaan dan pendidikan, dengan rendah hati meralat gelarnya, bukan psikolog klinis, melainkan ilmuwan psikologi yang konsen pada sosial kemasyarakatan dan pelatihan PFA.

Pengalaman lapangannya bersama Dompet Dhuafa, sebuah lembaga non-pemerintah (NGO) yang aktif dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan—bukan hanya saat bencana—memberinya perspektif yang tajam.

"PFA itu di mana semua orang yang kemudian bisa melakukan itu, tidak mesti harus psikolog," jelas Tri Sugiarti.

Konsepnya sederhana namun revolusioner,kehadiran yang didasari empati. Dalam konteks bencana, PFA berarti menolong individu yang baru saja mengalami kejadian traumatis untuk merasa tenang, aman, dan terhubung.

Ini melibatkan mendengarkan tanpa menghakimi, membantu memenuhi kebutuhan dasar (seperti air, makanan, atau tempat berlindung), dan melindungi mereka dari bahaya lebih lanjut.

Kelas Siaga merupakan salah satu program Unhas TV yang mengajarkan bahwa medan PFA jauh melampaui lokasi bencana. Perannya vital dalam kehidupan sehari-hari: di rumah, di sekolah, dan di lingkungan kerja.

Ini adalah tentang mengasah kemampuan untuk hadir secara empati—sebuah tindakan yang mendalam. Ini adalah proses menggeser respons alami kita dari ‘memberikan solusi’ atau ‘meremehkan masalah’ menjadi ‘memberikan ruang untuk didengar’.

Pada dasarnya, Psychological First Aid adalah pemahaman mendalam tentang ekologi jiwa manusia. Bahwa setiap beban, besar atau kecil, adalah valid. Bahwa di saat tergelap, yang paling kita butuhkan adalah saksi yang berbelas kasih atas penderitaan kita. (*)