UNHAS.TV - Hari itu, langit Wakatobi membiru sempurna. Ombak mengelus lembut lambung kapal kayu yang mengantar para penyelam menuju surga bawah laut. Di antara mereka, berdiri seorang lelaki, gugup tapi penuh tekad. Namanya Ashry Sallatu, akrab disapa Gego.
Ia bukan wisatawan pencinta adrenalin atau penyelam profesional. Ia seorang peneliti antropologi yang baru saja belajar menyelam bukan karena hobi, melainkan karena panggilan riset.
“Saya takut laut,” katanya sambil tersenyum mengenang masa-masa awal. “Tapi saya tahu, kalau ingin memahami kehidupan para pemandu selam, saya harus menyelam bersama mereka.”

Gego saat menyelam
Gego adalah kandidat doktor di Departemen Antropologi Universitas Amsterdam. Latar akademiknya bukan dari antropologi, melainkan Hubungan Internasional, bidang yang lebih akrab dengan studi pustaka daripada kerja lapangan. Namun segalanya berubah setelah ia mendengar kisah kolega tentang metode etnografi.
“Ada sesuatu yang hidup dalam pendekatan itu. Saya jadi ingin memahami manusia dengan cara yang lebih dekat, lebih jujur,” ujarnya.
Kerinduannya terhadap Indonesia Timur membawanya pada keputusan besar untuk meneliti hubungan antara pariwisata dan strategi hidup masyarakat lokal di Wakatobi Sulawesi Tenggara.
Namun ada satu paradoks, ia belum pernah ke Wakatobi sebelumnya dan ia takut laut. Ia juga baru mengenal antropologi, etnografi, serta topik pariwisata. Empat medan baru sekaligus.
“Rasa gugup itu luar biasa,” kenangnya. “Tapi rasa ingin tahu lebih besar dari rasa takut.”
Pada 18 Desember 2021, Gego menginjakkan kaki di Wakatobi. Sopir yang menjemputnya berkata, “Kamu datang ke tempat terbaik untuk menyelam.” Ia tersenyum.
Tak seorang pun tahu bahwa ia datang bukan untuk liburan, melainkan untuk riset. Tapi komentar itu menjadi petunjuk pertama bahwa jika ingin memahami dunia selam, ia harus mendekati para pemandunya.
Sayangnya, upaya awalnya kandas. Seorang pemandu selam tak mengizinkannya naik kapal karena perlu izin dari atasannya. Ia pulang ke penginapan dengan kecewa. Tapi dari frustrasi itulah lahir ide yang mengubah segalanya, ia harus menjadi penyelam.
“Saya pikir itu cara terbaik untuk masuk ke dunia mereka. Tapi ada satu masalah besar, saya takut laut.”
Setelah berdiskusi dengan pembimbingnya, ia memutuskan mengambil sertifikasi menyelam. Itu bukan hanya tiket ke komunitas penyelam, tapi juga bentuk partisipasi penuh dalam metode etnografi.
Sebagai seorang antropolog pemula, Gego mulai memahami makna etnografi bukan sekadar mengamati, tetapi hidup bersama, merasakan, dan menuliskan dengan jujur. Ia menghidupi apa yang pernah dikatakan Clifford Geertz dalam karya terkenalnya The Interpretation of Cultures
"Doing ethnography is like trying to read a manuscript—foreign, faded, full of ellipses, incoherencies, suspicious emendations, and tendentious commentaries—but written not in conventional graphs of sound but in transient examples of shaped behavior."
"Melakukan etnografi itu seperti mencoba membaca sebuah manuskrip yang asing, pudar, penuh kekosongan, ketidakkonsistenan, koreksi yang meragukan, dan tafsir yang berat sebelah—namun manuskrip ini tidak ditulis dalam bentuk huruf yang lazim, melainkan dalam perilaku yang terbentuk secara sementara."
Dengan menyelam, Gego tidak hanya masuk ke lingkungan baru. Ia mencoba membaca naskah hidup yang ditulis dalam percakapan di atas perahu, dalam kecemasan para pemandu tentang musim sepi turis, dalam tawa yang pecah saat berhasil menghindari arus laut yang kuat.
Pelatihan menyelam menjadi babak baru perjuangan. Tantangan terberat adalah mask clearing, latihan dasar melepas masker di bawah air. Beberapa kali ia panik, naik ke permukaan, dan nyaris menyerah. Ketakutan mengalahkan logika.
“Saya bilang ke pelatih mungkin maskernya rusak,” kenangnya. “Tapi dia bilang, ‘Masalahnya bukan di maskernya, tapi di ketakutanmu. Atasi itu dulu. Saya tunggu di bawah.’” Pelatihnya menyelam, menghilang dari pandangan.
Setelah berulang kali gagal dan hampir putus asa, akhirnya ia berhasil. “Di situ saya sadar, kekuatan terbesar justru muncul saat kita sedang rapuh,” kata Gego.