Saintek

Menyelam Lebih Dalam: Perjalanan Gego di Wakatobi




Dengan sertifikat selam di tangan, ia akhirnya bisa ikut dalam perjalanan bersama penyelam profesional dan wisatawan. Di atas kapal, ia mengamati, mencatat, dan terlibat.

Ia menyaksikan bagaimana pariwisata membawa harapan sekaligus dilema, bagaimana konservasi bertemu ekonomi, dan bagaimana laut bukan sekadar destinasi, tapi ruang hidup.

Namun perjalanan itu lebih dari sekadar riset. Ia membuka jendela dalam diri. “Laut yang dulu saya takuti, kini jadi tempat saya menemukan diri,” ujarnya pelan.

Kini Gego aktif dalam program konservasi terumbu karang. Identitasnya berubah, dari peneliti jadi penyelam, dari akademisi jadi pegiat lingkungan. Semua bermula dari keputusan nekat, menyelam ke dunia yang asing.



“Kalau saja saya tidak melompat saat itu, mungkin saya tidak akan tahu betapa dalamnya hidup bisa mengubah kita,” katanya.

Ia mengamini apa yang pernah ditulis Ruth Behar dalam The Vulnerable Observer. "We are the instruments of our research, and our calibration is never perfect. But it is in our imperfections, our emotions, our vulnerabilities that anthropology finds its most honest voice."

Bagi Gego, antropologi bukan hanya tentang metode. Ia tentang keberanian menjadi rapuh, menjadi terlibat, menjadi manusia sepenuhnya di tengah manusia lain.

“Dulu saya tak menyangka akan menjadi penyelam,” tuturnya. “Ternyata saya hanya perlu menyelam lebih dalam.”