CALIFORNIA, UNHAS.TV- Bagi sebagian besar dari kita, tidur tujuh hingga delapan jam setiap malam adalah kebutuhan mutlak agar tetap bugar keesokan harinya. Namun, segelintir orang tampaknya dikaruniai kemampuan luar biasa: mereka merasa segar bugar hanya dengan tidur empat hingga enam jam. Kini, para ilmuwan dari University of California, San Francisco (UCSF) telah menemukan salah satu rahasia genetika di balik fenomena ini.
Dalam penelitian yang dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) pada 5 Mei 2025, para peneliti mengidentifikasi mutasi genetik baru bernama SIK3-N783Y pada seseorang yang dikenal sebagai “natural short sleeper” atau orang yang secara alami hanya butuh tidur sebentar. Untuk memahami dampaknya, para peneliti merekayasa gen ini pada tikus laboratorium dan menemukan bahwa tikus dengan mutasi tersebut tidur sekitar 31 menit lebih sedikit dibandingkan tikus biasa, dan bahkan sampai 54 menit lebih singkat saat mengalami deprivasi tidur.
“Tubuh tetap bekerja saat kita tidur—melakukan detoksifikasi dan memperbaiki kerusakan. Tetapi orang-orang dengan sifat short sleeper tampaknya menjalankan semua fungsi ini lebih efisien,” kata Dr. Ying-Hui Fu, ahli saraf dan genetika UCSF yang turut menulis studi ini, dikutip dari Nature.
Sebelumnya, Fu dan rekan-rekannya juga telah meneliti beberapa keluarga dengan pola tidur alami yang pendek. Salah satunya adalah studi tentang gen ADRB1, yang diterbitkan sebelumnya dan menjadi perhatian media seperti ISNA dan Live Science. Gen ini menghasilkan protein reseptor beta-1 adrenergik, yang berperan penting dalam regulasi kesadaran di otak, terutama di wilayah batang otak yang disebut pons dorsal. Pada tikus yang direkayasa dengan mutasi ADRB1, waktu tidur berkurang rata-rata hingga 55 menit.
Menurut Prof. Louis Ptáček, pakar neurologi dari UCSF yang juga terlibat dalam riset ini, temuan ini sangat menarik karena membuka jendela baru untuk memahami kompleksitas otak dan potensi terapi gangguan tidur. “Kami menemukan bahwa neuron dengan mutasi ini aktif tidak hanya saat bangun tetapi juga saat fase REM (rapid eye movement) tidur,” ujarnya.

Subjek penelitian tidur (hijau) selama rata-rata 6,3 jam per malam. Kredit: Chen et al., PNAS, 2025.
Meski begitu, para peneliti mengingatkan bahwa pola tidur manusia tidak sepenuhnya bisa dibandingkan dengan tikus, karena perbedaan ritme sirkadian dan struktur tidur antarspesies. Namun, studi ini tetap memberi harapan. Jika mutasi seperti SIK3-N783Y dapat diselidiki lebih jauh, bukan tidak mungkin terapi baru untuk meningkatkan kualitas tidur akan ditemukan.
“Tidur adalah salah satu fungsi biologis terpenting. Kekurangan tidur berhubungan dengan berbagai penyakit, mulai dari gangguan jantung, kanker, hingga Alzheimer,” tambah Fu.
Dengan pemahaman yang semakin dalam terhadap genetika tidur, bukan tidak mungkin di masa depan pakar bisa mengembangkan obat atau intervensi yang membantu orang mendapatkan manfaat maksimal dari tidur, meski dengan waktu yang lebih singkat.(*)