Opini

Merajut Toleransi di Bulan Ramadhan: Refleksi Islam Kosmopolitan di Tengah Tantangan Perundungan

Stop Bullying

Oleh: Rendi Pratama*

Bulan Ramadhan, yang seharusnya menjadi momen refleksi dan peningkatan spiritual bagi umat Islam, sering kali diwarnai dengan paradoks sosial. Di satu sisi, semangat kebersamaan dan kedermawanan merebak, tercermin dari fenomena "war takjil" yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat. Namun, di sisi lain, praktik intoleransi dan perundungan terhadap mereka yang dianggap "tidak sesuai" dengan norma dominan juga kerap muncul. Fenomena ini menjadi antitesis dari konsep Islam Kosmopolitan yang digagas oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang menekankan keterbukaan, perdamaian, dan penghargaan terhadap keragaman.

Ramadhan dan Erosi Toleransi

Gagasan Islam Kosmopolitan Gus Dur, yang tertuang dalam bukunya "Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Islam, Transformasi Sosial, dan Sejarah", menawarkan perspektif penting dalam menyikapi realitas sosial di bulan Ramadhan. Konsep ini menekankan Islam sebagai agama yang ramah, terbuka terhadap keberagaman budaya, keyakinan, dan pilihan hidup. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur'an surah Al-Hujurat ayat 13, yang menyatakan bahwa perbedaan diciptakan agar manusia saling mengenal.

Dalam konteks ini, universalisme Islam dalam menghormati kebebasan individu menjadi kunci. Gus Dur merumuskan lima jaminan dasar yang relevan dalam konteks ini:

  • Hifdzu an-nafs: Perlindungan terhadap keselamatan fisik setiap individu dari tindakan kekerasan di luar hukum yang berlaku.
  • Hifdzu ad-din: Jaminan kebebasan beragama tanpa paksaan untuk berpindah keyakinan.
  • Hifdzu an-nasl: Perlindungan terhadap keluarga dan keturunan.
  • Hifdzu al-mal: Perlindungan terhadap harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum.
  • Hifdzu al-aql: Perlindungan terhadap hak milik dan profesi.

Kelima jaminan dasar ini menegaskan pentingnya penegakan hukum yang adil, persamaan hak, dan derajat antar sesama, serta keadilan sosial. Sayangnya, semangat toleransi ini sering kali terkikis di bulan Ramadhan. Fenomena seperti sweeping warung makan, pemaksaan untuk ikut berpuasa, dan perundungan terhadap orang yang makan di tempat umum menunjukkan adanya pergeseran pemahaman ibadah dari ranah personal menjadi "aturan sosial" yang memaksa.

Fisik, verbal, sosial, atau cyber—bullying dalam bentuk apa pun tetap menyakiti. Mari hentikan! Credit: WCPS Central Office.
Fisik, verbal, sosial, atau cyber—bullying dalam bentuk apa pun tetap menyakiti. Mari hentikan! Credit: WCPS Central Office.


Perundungan Atas Nama Kesalehan

Sejarah peradaban manusia mencatat berbagai tindakan persekusi atas nama moralitas atau kesalehan, yang sering kali menyasar kelompok rentan dan minoritas. Gus Dur pernah mengingatkan bahwa toleransi adalah kekuatan transformatif yang mampu mengubah masyarakat. Di era digital ini, perundungan selama Ramadhan semakin marak, baik melalui komentar sinis di media sosial maupun tindakan fisik.

Kesalehan individual yang seharusnya memancar dalam bentuk kelembutan hati justru berubah menjadi alat kontrol sosial. Anggapan bahwa orang yang makan di siang hari "tidak menghormati" yang berpuasa sering kali mengabaikan realitas masyarakat majemuk. Padahal, penghormatan sejati seharusnya bersifat timbal balik.

Islam Kosmopolitan menawarkan solusi dengan menekankan pentingnya menjalankan ibadah secara khusyuk tanpa melukai hak orang lain. Para ulama besar dalam sejarah Islam juga mengajarkan bahwa ibadah adalah urusan vertikal antara manusia dan Tuhan. Tugas manusia adalah mengajak dan mengingatkan, bukan memaksa. Dalam konteks ini, orang yang berpuasa seharusnya lebih menghormati mereka yang tidak berpuasa, karena menahan diri dari makan dan minum adalah bentuk penghormatan tertinggi.

Solusi dan Rekomendasi

Untuk mengatasi persoalan intoleransi dan perundungan di bulan Ramadhan, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak:

  • Pendidikan: Meningkatkan pemahaman tentang nilai-nilai toleransi dan Islam Kosmopolitan melalui pendidikan formal dan nonformal.
  • Dialog: Mendorong dialog antarumat beragama dan antarkelompok masyarakat untuk membangun saling pengertian.
  • Penegakan Hukum: Menindak tegas pelaku perundungan dan intoleransi sesuai dengan hukum yang berlaku.
  • Peran Media: Media massa dan media sosial harus berperan aktif dalam menyebarkan pesan-pesan toleransi dan perdamaian.

Dengan mengedepankan semangat Islam Kosmopolitan, kita dapat menjadikan bulan Ramadhan sebagai momentum untuk memperkuat toleransi, merajut persatuan, dan membangun masyarakat yang lebih inklusif.

* Penulis adalah 
Sekretaris Umum HMI Makassar Timur/ Mahasiswa S1 Sastra Asia Barat Universitas Hasanuddin.