News
Program
Unhas Figure

Miklos Sunario, CEO Muda Futurity Bicara Kedaulatan AI dan Masa Depan Indonesia Emas 2045

Miklos Sunario, CEO Muda Futurity bicara kedaulatan AI untuk generasi emas 2045 dipandu host Rektor Unhas Prof Jamaluddin Jompa, Rabu (26/11/2025). (dok unhas tv)

MAKASSAR, UNHAS.TV - Indonesia sedang memasuki era persaingan global yang ditentukan bukan lagi oleh sumber daya alam, melainkan oleh kemampuan bangsa dalam menguasai teknologi, khususnya artificial intelligence (AI).

Hal itu mengemuka dalam program Unhas Figure yang menghadirkan Miklos Sunario, co-founder sekaligus CEO perusahaan teknologi AI Futurity, Rabu (26/11/2025). 

Dalam diskusi yang dipandu host Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Dr Ir Jamaluddin Jompa MSc, Miklos menjelaskan bahwa Futurity dibangun sebagai perusahaan AI yang berfokus pada sovereign AI atau AI berdaulat.

AI ini sebuah konsep yang menekankan pentingnya negara memiliki kendali penuh atas data dan teknologi kecerdasan buatan yang digunakan.

“Banyak pemerintah ingin menerapkan AI, namun belum mampu karena solusi yang tersedia masih bergantung pada layanan luar negeri seperti Microsoft atau Google. Itu berisiko. Futurity ingin membantu Indonesia memiliki perangkat keras, middleware, hingga kecerdasan AI sendiri agar berdaulat,” jelasnya.

Pria yang kini berusia 22 tahun itu mengakui, perjalanannya menuju dunia AI tidak selalu mulus. Ia memulai startup pertamanya pada usia 16 tahun melalui platform edukasi gotong royong bernama Edion, yang berkembang hingga menjangkau 6.000 pelajar di 10 negara.

Namun, justru di sanalah Miklos merasakan kegagalan pertamanya. “Saya dulu merasa bisa bantu semua orang. Tapi saat tumbuh besar, akhirnya tidak sanggup jika hanya mengandalkan relawan”, terangnya. 

Kegagalan itu justru menjadi pelajaran berharga yang membawanya mengembangkan EduBeyond, sebuah platform AI pendidikan yang kemudian memenangkan penghargaan internasional Moons Platform Learning Awards yang diselenggarakan Aspen Institute dan XPrize Foundation.

Prof. JJ menanggapi kisah itu dengan menekankan bahwa filosofi fail forward atau belajar dari kegagalan adalah salah satu fondasi penting dalam membangun inovasi global.

Banyak pihak mempertanyakan alasan Miklos kembali ke tanah air saat kariernya di Amerika Utara justru sedang bertumbuh. Ia mengungkapkan bahwa pilihannya kembali adalah karena melihat potensi Indonesia yang sangat besar.

“Indonesia ini seperti karakter dalam video game yang awalnya tidak terlalu kuat, tapi punya potensi jadi yang terkuat jika dikembangkan. Ini seru. Saya ingin naik level bersama Indonesia”, ujarnya ke Prof JJ.

Selain itu, Miklos menilai Indonesia memiliki modal besar berupa 200 juta pengguna internet aktif dan ekosistem digital yang sangat berkembang.

“Dari luar, orang melihat Indonesia jauh lebih menjanjikan daripada yang kita bayangkan sendiri,” katanya.

Tidak hanya berkarya di startup, Miklos beberapa kali diundang sebagai pembicara pada forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membahas peran AI dalam pendidikan dan isu kedaulatan teknologi.

Baru-baru ini ia kembali dari New York setelah berdiskusi dengan wakil Sekjen PBB mengenai urgensi negara-negara dunia memiliki AI yang mandiri.

Menurutnya, ada dua hal mendesak yang harus dilakukan Indonesia untuk memastikan kedaulatan teknologi. Diantaranya, membangun infrastruktur AI nasional, Mulai dari hardware, pusat data, middleware, hingga ekosistem pengembangan AI mandiri.

Kedua, menghidupkan kembali mentalitas percaya diri dan gotong royong. Kolaborasi antar universitas, pemerintah, industri, hingga talenta muda menjadi kunci agar Indonesia tidak sekadar menjadi pengguna, tapi pemain utama di era AI global.

“Kita tidak harus mulai dari nol. Banyak teknologi AI bersifat open source. Kita bisa membangun solusi yang spesifik untuk Indonesia dan menjadikan itu milik bangsa,” tutupnya.

Prof JJ menambahkan, perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam menciptakan ekosistem riset dan talenta AI yang mampu bersaing di tingkat global.

(Zulkarnaen Jumar Taufik / Unhas TV)