UNHAS.TV - Di Mandarin Corner lantai dua Perpustakaan Universitas Hasanuddin, suasana tenang membalut obrolan serius. Di sudut itu, duduk seorang mahasiswa semester dua yang tampak tenang tapi menyimpan bara semangat: Muhammad Isra Immawan.
Di usia yang baru menginjak 19 tahun, ia sudah mantap menyuarakan kritik terhadap kebijakan publik dan aktif di tiga organisasi kampus sekaligus. Dari isu tambang di Raja Ampat hingga semangat literasi dan pengabdian, Isra tak sekadar kuliah untuk nilai.
Rambutnya rapi. Suaranya pelan, tapi setiap kata yang diucapkannya mengandung pemikiran matang. Muhammad Isra Immawan, mahasiswa Ilmu Pemerintahan angkatan 2024, mengaku tak pernah menyangka akan berlabuh di Prodi yang kini ia syukuri.
Saat mendaftar Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT), pilihan pertamanya adalah Ilmu Komunikasi. Ilmu Pemerintahan hanya cadangan. Namun takdir membawanya ke pilihan kedua—dan ia memutuskan untuk menjalaninya dengan sepenuh hati.
"Awalnya agak kecewa," ujarnya sembari tersenyum. “Tapi saya percaya, pilihan Tuhan lebih tahu ke mana saya seharusnya belajar dan berkontribusi.”
Isra menyebut bahwa ia telah merancang skenario belajar untuk dua jurusannya, dan ketika Ilmu Pemerintahan menjadi kenyataan, ia segera menyesuaikan langkah. "Saya jalani saja, dan ternyata saya cocok," katanya mantap.
Tak butuh waktu lama baginya untuk membuktikan bahwa pilihan Tuhan memang tak pernah keliru. Dalam waktu dua semester, Isra an menjelma menjadi mahasiswa aktif, kritis, dan produktif.
Ia terlibat dalam tiga organisasi kampus: Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Ranting Unhas, anggota Lembaga Debat dan Advokasi Kampus (LEDAK) FISIP, dan anggota Student Volunteer FISIP Unhas. Tiga organisasi dengan tiga bidang berbeda, tapi semuanya dijalani Isra dengan alasan yang terencana.
“Saya masuk FLP karena ingin mengasah kemampuan menulis. Di LEDAK, saya melatih public speaking dan berpikir kritis. Lalu, di Student Volunteer, saya belajar bekerja sama dalam tim dan menyukseskan kegiatan kampus,” urainya.
Isra memang bukan tipe mahasiswa “ikut-ikutan” organisasi. Setiap aktivitas dipilih dengan kesadaran, dengan tujuan pengembangan diri yang jelas. Ia bahkan menolak masuk organisasi hanya karena ajakan teman.
"Kalau saya bergabung, harus ada timbal balik. Saya ingin berkontribusi, tapi saya juga ingin organisasi itu memberi saya ruang untuk bertumbuh," katanya.
Sikap kritisnya mulai tampak ketika ditanya soal dinamika pemerintahan Indonesia saat ini. “Saya tertarik menyoroti soal aktivitas tambang di Raja Ampat,” ujarnya, merujuk pada isu yang sempat menghebohkan media nasional.
“Ini bukan cuma soal izin, tapi soal dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.” Ia menyebut aktivitas tambang bukan hanya soal angka dalam APBD, tapi soal bagaimana pembangunan tetap mengedepankan keberlanjutan dan keadilan sosial.
“Pemerintah tidak boleh hanya mengejar kepentingan jangka pendek atau kepentingan elite. Pemuda, mahasiswa, harus menjadi pengawal agar kebijakan publik tetap berpihak pada rakyat,” ujarnya dengan nada tegas. Isra, meski baru semester dua, menunjukkan kedewasaan berpikir yang melampaui usianya.
Ketertarikannya pada dunia akademik pun sudah terlihat sejak awal. Ia menyebut bercita-cita menjadi seorang dosen.
“Saya ingin ilmu yang saya pelajari tidak hanya berhenti di kepala saya. Saya ingin menyebarkannya, mendidik generasi baru yang peduli pada pemerintahan yang bersih dan berpihak pada rakyat,” ujarnya.
Rutin Menulis dan Berbagi Karya
>> Baca Selanjutnya