Unhas Story

Muda, Lugas, dan Peduli Negeri: Muhammad Isra Immawan dari Ilmu Pemerintahan Unhas




Muhammad Isra Immawan (dok unhas.tv)


Tantangan terbesar bagi organisasi kepenulisan hari ini, menurut Isra, bukan hanya sekadar membina minat anggota. Ia lebih kompleks: menyentuh persoalan zaman.

“Kami hidup di tengah generasi scroll dan swipe. Budaya baca tergantikan budaya lihat,” ujarnya, menyinggung derasnya arus media sosial yang membuat mahasiswa lebih nyaman menikmati konten singkat ketimbang menyelami buku ratusan halaman.

Namun, alih-alih mengeluh, Israwan memutuskan untuk melawan. Salah satu program andalannya sebagai Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Ranting Unhas 2025-2026 adalah “Lingkar Buku”—sebuah model diskusi buku ringan yang dikemas santai ala pesta literasi.

Ia berharap, dengan pendekatan yang lebih “bernapas kampus”, mahasiswa bisa kembali akrab dengan halaman demi halaman.

“Lingkar Buku ini seperti book party, tapi isinya ya tetap membahas karya. Kami ingin membuktikan, literasi itu bisa fun,” kata mahasiswa yang baru menjabat dua bulan sebagai ketua FLP.

Tak hanya itu, dua program unggulan lain yang digagasnya adalah Pinisi dan Serasi, dua inisiatif pelatihan menulis fiksi dan ilmiah yang menyasar pengembangan keterampilan anggota.

Di tengah deru kampus yang lebih sering bicara pergerakan politik dan debat publik, Israwan justru memilih jalur sunyi: menulis. Ia ingin menghidupkan kembali tradisi berpikir dan mengolah gagasan, sesuatu yang menurutnya semakin langka di kalangan mahasiswa.

“Literasi bukan hanya soal kemampuan membaca dan menulis, tapi soal membangun kesadaran. Dan itu pekerjaan panjang,” ujarnya.

Langkahnya tak berhenti di ruang forum. Di luar FLP, Isra juga aktif berlaga di berbagai kompetisi kepenulisan. Semangatnya bukan baru tumbuh di bangku kuliah. Ia menyebut kelas 11 SMA sebagai titik awal keterlibatannya dalam lomba-lomba esai dan gagasan ilmiah.

“Saya pernah ikut lomba dan cuma jadi peserta. Pernah juga hanya masuk finalis. Tapi dari situ saya belajar: tidak ada karya yang sempurna di awal,” katanya.

Pelan tapi pasti, ia mulai membangun rekam jejak prestasi. Salah satu tonggak pentingnya adalah ketika ia berhasil menjuarai lomba esai persahabatan Indonesia-Jepang yang diselenggarakan Konsulat Jepang di Makassar.

Pengalaman itu membuka matanya pada potensi diri di bidang kepenulisan ilmiah. Sejak itu, setiap kompetisi adalah medan belajar. Hanya beberapa pekan setelah PKKMB di Unhas, ia sudah menembus final lomba esai di Fosei FEB Unhas.

Namun, dari semua capaian yang ia raih, satu yang paling membekas adalah saat dirinya menjadi Juara 3 dalam kompetisi Gagasan Sosial Inovatif yang diselenggarakan Narasi TV bekerja sama dengan Kedutaan Besar Australia.

Dalam lomba itu, Isra an mengangkat isu minimnya literasi digital di kalangan orang tua dan guru. Ia menggagas Kelas Keluarga Cakap Digital, sebuah pelatihan berbasis komunitas yang ditujukan untuk membekali orang tua menghadapi era disinformasi.

“Saya kira ide saya terlalu sederhana,” katanya merendah. Tapi justru kesederhanaan itu yang disukai para juri, di antaranya Duta Besar Australia untuk Indonesia dan Rektor Universitas Hasanuddin.

Isra tidak hanya bergulat dengan literasi. Ia juga aktif dalam membangun sistem belajar yang disiplin. Setiap mengikuti lomba, ia punya tiga tahap utama.

Apakah itu? Pertama membaca aturan main kompetisi dengan saksama, kedua membentuk tim yang solid, dan ketiga menyusun timeline kerja hingga hari pengumpulan.

Ia percaya, kreativitas tanpa manajemen hanya akan berujung pada kegagalan. “Mau sehebat apapun ide kita, kalau tidak patuh aturan, ya sia-sia,” katanya.

Namun, bagi Israwan, yang terpenting adalah keberanian untuk memulai. Ia mengajak mahasiswa yang masih ragu untuk mulai menulis, bahkan dari hal sesederhana buku harian. “Saya sendiri awalnya suka nulis diari. Dari situ muncul rasa ingin tahu, lalu berkembang ke esai dan ilmiah,” ujarnya.

Kini, sebagai mahasiswa semester dua, Israwan punya mimpi panjang. Ia ingin melanjutkan pendidikan hingga jenjang S2 dan S3, jika memungkinkan, di luar negeri.

Kampus impiannya adalah Harvard University—tempat banyak pemimpin dunia menimba ilmu. Ia sadar jalannya tidak mudah, tapi ia percaya pada kerja keras dan niat baik.

“Kalau ada rezeki, saya ingin belajar sampai ke Harvard. Karena belajar itu tanggung jawab, bukan sekadar prestise,” katanya. Ia pun mulai bersiap: memperkuat portofolio, mengasah kemampuan bahasa Inggris, dan aktif di berbagai forum akademik.

Di tengah padatnya aktivitas organisasi, kuliah, dan kompetisi, Israwan tetap menjadikan menulis sebagai napas hidupnya. Ia percaya bahwa menulis adalah bentuk perjuangan intelektual.

Dalam tulisan, katanya, seseorang bisa hidup seribu kali, menyuarakan keresahan, dan mewariskan ide bagi generasi selanjutnya.

“Kita bisa kehilangan banyak hal. Tapi ide dan tulisan, kalau dikelola dengan baik, bisa hidup jauh melampaui usia kita,” ujarnya.

Ketika perbincangan ditutup oleh kru Unhas TV, Israwan tersenyum, seperti menyimpan banyak rencana lain dalam kepalanya. Ia baru mulai, dan jalan yang ia pilih mungkin tidak ramai.

Tapi dari lorong-lorong sunyi forum literasi, dari lembar-lembar naskah lomba, dari obrolan tentang buku dan ide-ide kecil yang berdampak besar, Muhammad Isra Immawan sedang menulis jejaknya sendiri—pelan tapi pasti. Seperti kata-kata yang membentuk paragraf, dan paragraf yang membentuk bab: ini baru permulaan. (*)