Internasional
Opini

Negosiasi dan Kesunyian: Duel Donald Trump versus Xi Jinping

Oleh: Yusran Darmawan*

Di sebuah pagi di Oval Office, Donald Trump duduk sendirian. Tangannya menopang dagu. Di sampingnya tergeletak buku tua yang pernah membuatnya dikenal: The Art of The Deal.

Buku itu bukan sekadar kenangan masa lalu. Ia adalah cermin pikirannya — cara melihat dunia sebagai medan transaksi. Hidup, baginya, adalah negosiasi tanpa akhir. Dunia harus diperlakukan seperti pasar properti: keras, licin, penuh gertakan, penuh perhitungan laba.

Jauh di seberang Pasifik, di balik tembok batu Zhongnanhai yang dingin dan kokoh, Xi Jinping membaca buku yang jauh lebih purba: The Art of War karya Sun Tzu.

Buku itu bukan tentang berdagang, bukan tentang berunding di meja makan malam, tetapi tentang bagaimana memenangkan perang tanpa pertempuran. Dunia, bagi Sun Tzu, bukan arena pamer kekuatan, melainkan ruang kesabaran dan ilusi.

BACA: Singapura Tahu Arah, Indonesia Ke Mana?

Trump tumbuh dalam riuh rendah New York. Dalam bisnis properti, ia belajar satu hal sederhana: tawar menawar adalah seni menggertak. Maka ketika memasuki panggung geopolitik, ia membawa naluri jalanan itu.

Ia naikkan tarif impor, ia ancam keluar dari perjanjian internasional, ia buat panggung besar untuk menekan lawan-lawannya. Baginya, dunia adalah ruang penuh spotlight. Ia tampil seperti gladiator: bersuara keras, memancing perhatian, lalu menghantam lawan ketika lengah.

Sebaliknya, Xi tumbuh dalam bayang-bayang Partai Komunis yang dingin dan penuh teka-teki. Ia tidak membangun kekuatan dalam sorotan lampu, tetapi dalam kelam lorong kekuasaan.

Di bawah pemerintahannya, Tiongkok tak lagi sekadar negeri pabrik dunia. Ia memperluas cengkeramannya lewat infrastruktur, teknologi, dan utang. Negara-negara kecil dirangkul bukan dengan peluru, tetapi dengan jalan tol dan pelabuhan.

Trump percaya dunia bisa ditaklukkan dengan kesepakatan cepat. Xi percaya dunia hanya bisa ditundukkan dengan kesabaran panjang. Trump meletupkan emosi. Xi merawat diam. Trump memaksa lawan bicara duduk dalam negosiasi. Xi membiarkan lawan bicara datang sendiri ke pelukannya.

Sun Tzu menulis: “Puncak tertinggi dari strategi adalah menaklukkan musuh tanpa bertempur.” Sedangkan Trump menulis: “Deal tercipta ketika kedua pihak sama-sama merasa telah mengakali pihak lain.”

Dunia hari ini berjalan di antara dua jalan itu. Satu jalan keras dan terbuka — seperti jalanan New York yang hiruk pikuk. Satu jalan lain hening dan licin — seperti gang sempit di Beijing yang penuh teka-teki.

Namun waktu, seperti selalu, punya cara sendiri untuk menguji dua jalan itu.


>> Baca Selanjutnya