Internasional

Trump Didesak Tahan Diri Serang Iran

WASHINGTON, UNHAS.TV – Sebuah makan siang politik di Gedung Putih yang semula dijadwalkan rutin berubah menjadi titik balik yang menentukan. Di meja itulah, Steve Bannon—tokoh keras gerakan MAGA (Make America Great Again) dan mantan penasihat utama—menyampaikan peringatan yang tak biasa kepada Donald Trump: jangan terburu-buru menyerang Iran.

Bukan tanpa alasan. Sejumlah laporan yang dikutip oleh ABC News pada Sabtu (21/6/2025) mengungkapkan bahwa informasi intelijen dari Israel kini mulai diragukan, dan senjata pemecah bunker yang digadang-gadang sebagai kunci serangan belum pernah terbukti efektif dalam skenario nyata. Ancaman terhadap lebih dari 40.000 personel militer Amerika di kawasan pun dipandang terlalu besar untuk dipertaruhkan.

Pertemuan itu menandai gesekan serius di lingkaran dalam gerakan MAGA, terutama antara kelompok yang mendorong aksi militer dengan mereka yang bersikeras bahwa “America First” berarti menjauhi konflik luar negeri.

Menurut laporan ABC News yang dirilis Sabtu waktu setempat, sejumlah pejabat dan penasihat senior memperingatkan Trump mengenai risiko serius jika AS memutuskan menyerang salah satu fasilitas nuklir utama Iran, termasuk situs bawah tanah Fordow. Informasi intelijen yang berasal dari Israel dinilai tidak sepenuhnya bisa dipercaya, dan efektivitas bom penghancur bunker belum pernah terbukti dalam kondisi nyata.

“Trump telah diperingatkan bahwa ini bisa berbahaya. Bom itu memang diuji, tapi belum pernah digunakan dalam operasi taktis sesungguhnya,” kata sumber internal yang dikutip ABC News. Mereka menambahkan, ketidakjelasan struktur beton dan pelindung logam di situs nuklir Iran menjadi pertimbangan besar dalam kalkulasi militer.

Lebih mengejutkan, tokoh sayap kanan yang terkenal radikal, Steve Bannon, justru menyuarakan nada berbeda. Dalam pertemuan makan siang dengan Trump di Gedung Putih pekan lalu, Bannon mengingatkan bahwa kepercayaan mutlak pada informasi Israel bisa menjadi kesalahan besar. "Bom itu mungkin tidak bekerja seperti yang diharapkan. Dan jika Iran membalas, kita tidak tahu persis apa risikonya terhadap 40 ribu pasukan AS di kawasan, termasuk 2.500 personel di Irak," tegasnya.

Pernyataan ini mencerminkan keretakan yang makin dalam di tubuh pendukung gerakan MAGA, khususnya terkait kebijakan luar negeri terhadap Iran.
Carolyn Leavitt, juru bicara Gedung Putih, mengonfirmasi bahwa Trump belum membuat keputusan final. “Presiden akan menyampaikan keputusannya dalam dua minggu ke depan,” ujarnya kepada para jurnalis.

Iran memiliki kemampuan untuk membuat bom atom, tetapi hal itu tidak masuk dalam agenda kerja saat ini. Kredit: Hamshahri.
Iran memiliki kemampuan untuk membuat bom atom, tetapi hal itu tidak masuk dalam agenda kerja saat ini. Kredit: Hamshahri.


Meski tidak lagi menjabat secara resmi, Bannon mendapat akses luar biasa untuk berdiskusi langsung dengan Trump tentang isu strategis seperti Iran. Saat ditanya mengenai hal tersebut, ia hanya menjawab sinis: “Biarkan Netanyahu menyelesaikan sendiri apa yang sudah dia mulai.”

Sementara itu, Kurt Mills, Direktur Eksekutif The American Conservative, menambahkan bahwa Bannon secara konsisten mengirimkan “pesan yang sangat jelas” kepada lingkaran internal MAGA untuk menolak opsi militer.

“Suka atau tidak, ini adalah Gedung Putih yang sedang mendengarkan suara koalisinya sendiri, yang mayoritas tidak ingin perang dengan Iran,” ujar Mills kepada ABC News.

Beberapa tokoh lain di kubu konservatif, termasuk Vance, mencoba membela Trump di tengah kritik keras dari pendukung MAGA yang menentang keterlibatan militer lebih jauh.

Menteri Pertahanan Pete Hegseth disebut menyerahkan sebagian besar analisis militer kepada para jenderal seperti Eric Kurilla dan Dan Keane. Namun, juru bicara Pentagon, Sean Parnell, membantah bahwa Hegseth bersikap pasif. “Itu tidak benar. Menteri berbicara dengan Presiden setiap hari dan memimpin pertemuan di Situation Room,” katanya.

Di sisi diplomasi, Menteri Luar Negeri Marco Rubio dan Steve Witkoff selaku utusan Timur Tengah turut terlibat dalam pembahasan intensif dengan Trump. Meski Rubio dikenal sebagai tokoh hawkish terhadap Iran, belakangan ia disebut lebih selaras dengan prinsip “America First” dan lebih berhati-hati terhadap potensi dampak politik dari intervensi militer.

Intelijen AS sendiri belum menemukan bukti bahwa Iran telah membuat keputusan final untuk memproduksi senjata nuklir. Kekaburan informasi ini memicu perbandingan dengan invasi ke Irak tahun 2003, yang dipicu oleh intelijen keliru.

Tulsi Gabbard, mantan Kepala Intelijen Nasional, dalam kesaksiannya di Kongres menyatakan bahwa “Iran tidak sedang membangun senjata nuklir.” Namun, ketika ditanya pada Jumat lalu, Trump menepis pandangan Gabbard. “Dia salah. Intelijen salah,” ucapnya.

Dalam pernyataan terbaru melalui platform X, Gabbard mengoreksi pemberitaan sebelumnya. “Iran kini berada di titik di mana mereka bisa membuat senjata nuklir dalam hitungan minggu atau bulan jika mereka mau. Presiden sudah mengatakan hal ini tak boleh terjadi, dan saya sepakat dengannya,” tulisnya. (*)