Budaya
Gaya
Travel

Oase Hijau Denassa di Borongtala

Suasana di Rumah Hijau Denassa

Tumbuh dan besar di Borongtala, dia menjadi saksi dari modernisasi yang berlari cepat. Lingkungan yang dahulu penuh dengan hutan, serta di pagi hari dipenuhi suara-suara burung, perlahan-lahan punah. Hutan dikonversi menjadi sawah. Pohon-pohon perlahan ditebang satu demi satu. Rumah ekosistem perlahan hilang.

Anak-anak muda perlahan meninggalkan kampung. Semua ingin mencari penghidupan yang lebih baik di Makassar. Kota menjadi magnet untuk menarik semua orang ke sana. Kampung ditinggalkan, sementara ekosistem kian hancur akibat ketidakpedulian.

Langkah Denassa untuk kembali ke kampung adalah anomali bagi anak muda yang ramai ke kota. Dia tak sekadar kembali, Dia mulai mengumpulkan berbagai jenis tanaman, lalu menanam.

Saat di Kupang, tahun 2013, saya pernah menemaninya ke markas Geng Motor Imut (aliansi Mahasiswa Peduli Ternak), kumpulan anak muda peduli ternak, untuk mengambil bibit pohon langka. Tak hanya itu, dia juga meminta bibit sorgum kepada Mama Tata, pejuang lingkungan dan pelestari sorgum dari Pulau Adonara.

Kerja-kerjanya perlahan membuahkan hasil. Literasi, alam yang lestari, suasana sejuk, dan suara-suara alam, perlahan menjadi magnet. Perlahan ekosistem mulai kembali sebagaimana sedia kala. Hutan mulai menghijau. Suara-suara burung mulai terdengar di pagi hari.

Denassa mengembalikan segarnya suasana kampung pada orang Makassar yang kian kota. Banyak sekolah membawa siswanya ke Rumah Hijau Denassa demi nostalgia pada alam hijau, serta berbagai keriangan khas kampung.

Denassa mengenalkan kearifan lokal apabila murid-murid perkotaan datang berkunjung. Penguatan itu antara lain bermain ke sawah, memberi makan domba, hingga menangkap itik. Termasuk menyajikan makanan-makanan lokal, seperti umbi-umbian, jagung, ubi kayu, ubi jalar, ataupun makanan-makanan lokal lainnya.

Dia mendorong anak-anak belajar tradisi dan budaya lokal di Sawahku dan Rumah Hijau Denassa.  Para pelajar yang berkunjung tidak diperkenankan membawa makanan ataupun minuman berkemasan. Hal itu dinilai bisa merusak alam.  Pelajar diwajibkan membawa tumbler untuk menguatkan budaya perang terhadap sampah plastik.

Murid-murid TK ataupun murid SD kelas 1 hingga kelas 3, diwajibkan menggambar pengalamannya jika berkunjung. Sementara murid SD kelas 4-6, SMP, SMA, ataupun mahasiswa diminta menuliskan kisah hidupnya jika berkunjung.

Hal-hal seperti ini sederhana bagi mereka yang besar di kampung, tapi untuk masyarakat kota, hal-hal ini terasa amat mewah dan penuh kesan. Bagi anak-anak yang setiap hari bermain game di HP, petualangan memandikan kerbau adalah pengalaman yang akan selalu dikenang hingga akhir hayat.

Denassa tak sekadar bernostalgia, dia mengembalikan suasana keriangan anak-anak pedesaan pada generasi kota yang terpapar gadget dan internet. Mereka yang berkunjung ke Rumah Hijau Denassa akan merasakan suasana yang sejuk dan adem, serta menjadi semacam oase yang menyehatkan.

HALAMAN BERIKUTNYA -->

>> Baca Selanjutnya