Polhum

Perang Algoritma untuk Menang Pilkada

Salah satu isu cemerlang yang lahir di Pilkada DKI Jakarta adalah program DP rumah 0 persen. Meskipun program ini nyaris sulit direalisasikan, dalam konteks kampanye, wacana ini sangat menjual. Pesan ini sejenak menghentikan lalu lintas isu dan hoaks yang marak.

Ketiga, tim ofensif. Tim ini sering disebut Tim Hantu. Cara kerjanya adalah menyerang lawan. Di pilkada, informasi bisa dikelola untuk melumpuhkan lawan. Namun kerja tim ini harus berupa tim bayangan. Tak perlu ada garis komando, sebab jika suatu saat tim ini terdeteksi, maka semua kontak harus diputus.

Pesan-pesan yang diolah juga harus dikemas dengan hati-hati. Tim ofensif tak harus menyerang, tapi bisa juga dilakukan dengan mengerahkan semua akun bot yang bisa menyebar dan mengepung postingan kandidat lain.

Semua tim-tim di atas akan berkoordinasi dengan para  kreator konten. Para kreator konten beranggotakan tim kreatif yakni pembuat konten, pekerja media, graphic designer, motion graphic, fotografer, dan videografer, serta tim IT. Mereka merancang konten, menyebarkannya, mengukur dampaknya, lalu kembali merancang konten.

“Apa ada tools atau alat yang digunakan sebagai amunisi bagi tim ini? Kembali bapak itu bertanya.

Tentu saja ada. Sewaktu saya menjadi konsultan media di satu tim yang berlaga di pilpres, saya memperhatikan tingginya kebutuhan pada teknologi yang bisa digunakan untuk pilkada.

Secara umum, saya melihat ada tiga tools utama di setiap pusat komando informasi. Pertama, digital listening tool, yang berisikan perangkat untuk memetakan semua percakapan di media sosial. Semua yang dibahas netizen di satu wilayah akan mudah terpetakan di situ.

Kedua, digital media platform, yang isinya berbagai platform media sosial, juga media mainstream. Semua platform ini akan digunakan untuk menyebarkan pesan secara cepat, menjangkau semua netizen di satu wilayah yang kemudian memviralkan semua pesan-pesan tersebut.

Ketiga, mobile apps, yang digunakan relawan secara mobile di berbagai lokasi. Para relawan dibekali dengan tools atau teknologi untuk saling berkoordinasi, mengetahui apa pesan yang disebar oleh tim komando, lalu menyebarkannya ke semua jejaring.

Di era 4,0, kerja-kerja politik harus bisa terpantau. Seorang politisi tidak bisa lagi dibohongi tim-tim lapangan. Melalui media sosial, dia bisa memantau seberapa kuat dia di satu lokasi, seberapa besar pengaruhnya, sehingga penentuan isu menjadi penting untuk dilakukan.

Kerja politik harus kerja yang kolektif. Informasi dikelola bersama, disebarkan ke jejaring influencer, akun robot, dan pemantul pesan, gemanya ditangkap para analis di tim, kemudian diolah lagi dan dikembangkan menjadi konten yang kuat.

Di era 4.0, semua orang bisa membagikan konten-konten politik. Tim media sosial akan mencari strategi agar semua netizen bisa bergerak pada titik tertentu, menggunakan semua perangkat teknologi dan algoritma media sosial demi menyebar pesan-pesan viral ke mana pun, yang kemudian menjadi rekomendasi kuat bagi politisi untuk turun lapangan.

Politik ibarat perang yang strateginya dirancang dan dipetakan dengan baik.Pusat komando adalah para penentu strategi dan perumus konten. Perang konten akan dilakukan relawan lapangan, yang salah satu tentaranya adalah akun-akun robot yang bisa di-orkestrasi dan dikendalikan.

“Berapa biaya yang dikeluarkan untuk membiayai semua aktivitas itu?” kembali dia bertanya.

Saya memikirkan berapa biaya paling minimal untuk menggerakkan tim. Tiba-tiba pelayan datang membawakan segelas kopi toraja yang nikmat. Sejenak, saya meresapi kenikmatan itu. Konsentrasi saya untuk menjawab langsung buyar.

“Tadi nanya apa Pak?”

*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Tinggal di Kota Bogor, Jawa Barat