Nasional

Perempuan Bugis yang Selalu Dirindukan Quraish Shihab

Najwa Shihab bersama ayah ibunya

Emma selalu meminta anaknya untuk menghabiskan semua makanan di piring. “Ukur kau punya kemampuan. Kalau masih mau nambah, silakan. Tapi harus habis. Gak boleh ada sisa di piring,“ kata Emma sebagaimana dituturkan Quraish.

Aba dan Emma tak bosan menjelaskan bahwa nasi dan makanan akan mendoakan seseorang ke surga jika dihabiskan. Jika ada nasi yang tersisa, nasi itu akan menangis dan mendoakan ke neraka. Makanya, Aba selalu menghitung setiap butir nasi yang tersisa lalu disantap. Jika tak habis juga, Emma akan mengumpulkan dan menjemurnya, lalu diolah menjadi kerupuk.

Emma mengajarkan disiplin. Sebagai perempuan Bugis yang dibesarkan dalam iklim penuh kedisiplinan, ia menekankan disiplin di rumah. Meskipun hanya lulusan Sekolah Rakyat (SR), Emma mewajibkan semua anaknya untuk sekolah. Ia melimpahi semua anaknya dengan kasih sayang yang berlimpah.

Aba mengajarkan pentingnya toleransi dan menjauhi fanatisme. Bagi Aba, kebenaran dalam rincian ajaran Islam bisa beragam, namun satu-satunya cara untuk hidup harmonis adalah mengajarkan tasamuh (toleransi), tanpa melunturkan keyakinan dan tradisi yang dianut. “Sahabat Aba banyak sekali. Malah ada orang Cina yang datang ke rumah untuk belajar bahasa Arab,” kata Quraish.

Biarpun telah mencapai banyak hal, dirinya tetaplah seorang anak yang selalu merindukan ayah-ibunya. Pada ayahnya ia belajar ilmu-ilmu agama, pada ibunya, ia belajar ilmu kehidupan. Puang Emma adalah matahari yang terus menyinari kehidupannya.

“Aku, meskipun telah dewasa, masih kecil jika berhadapan dengannya. Ketika tua pun aku masih kanak-kanak saat bersamanya. Aku masih senang berada di pembaringannya, walau aku telah berumah tangga. Aku merengek tanpa malu, menciumnya tanpa puas, berlutut dengan bangga di hadapannya.”

Pada Emma, panggilan untuk ibunya, ia mendedikasikan cinta. Saat mulai bekerja, semua gajinya diserahkan pada Emma. Betapa ia terkejut, saat hendak menikah dan saat menempuh pendidikan doktoral, Emma memberinya kepingan-kepingan emas, yang diakui Emma sebagai pemberian Quraish selama ini.

Emma tidak hendak menikmati pemberian anaknya, melainkan menyerahkannya kembali pada saat anaknya membutuhkan. Seperti matahari, ia tak lelah memberi, dan tak pernah meminta balas jasa apa pun pada anaknya.

Kepergian Emma pada tahun 1986 adalah kepergian yang paling menyedihkan batinnya. Dalam sehari, ia membacakan Al Fatihah sebanyak tujuh kali untuk ibu yang dirindukannya itu. Dalam salah satu bukunya, ia menulis dengan kalimat yang mengharukan:

“Ibu adalah salah satu ciptaan Tuhan yang paling mengagumkan. Hatinya adalah anugerah Tuhan yang terindah. Dunia dan seisinya tidak sepadan dengan kasih sayang ibu. Ibu lebih agung, ibu lebih indah, ibu lebih kuat. Ibu adalah sumber memperoleh kebajikan.”

*Yusran Darmawan adalah blogger, peneliti, dan Digital Strategist. Saat ini tinggal di Bogor, Jawa Barat