Nasional

Perempuan Bugis yang Selalu Dirindukan Quraish Shihab

Quraish Shibab dan istri

“Aba mengajarkan anak-anaknya untuk menjadi orang Indonesia. Meskipun keturunan Yaman, keluarga Shihab tidak mengenakan peci putih kas orang arab, melainkan peci hitam, khas Indonesia. Kami mengenakan celana, bukan jubah, bahkan berdasi dan berjas jika hendak ke pesta,” katanya.

Lulus sekolah dasar, Quraish belajar di SMP Muhammadiyah di Makassar. Aba menganggap bahwa sekolah itu adalah sekolah terbaik di masa itu, meskipun Aba sendiri memiliki latar belakang dekat dengan organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Setahun di sekolah itu, Quraish lalu pindah untuk nyantri ke Pesantren Dar al-Hadits al-Faqihiyah di Malang, Jawa Timur. Aba dan Emma juga mengizinkannya. Di pesantren inilah ia menempa sikap untuk selalu menyerap hikmah dari siapa pun.

Di pesantren ini, ia belajar dalam sistem klasikal. Pelajaran dimulai usai salat subuh berjamaah, dengan pengajian secara sorogan yang diasuh langsung Habib Bilfaqih di aula pesantren.

Yang mengesankan bagi Quraish adalah kharisma sang Habib. Berkat habib, pada usia 14 tahun, Quraish telah menghafal lebih seribu hadis. Ia juga mulai pandai berbicara dalam bahasa Arab. Pada usia 14 tahun pula, takdir menuntunnya untuk menimba ilmu ke tanah Mesir.

Bersama saudaranya Alwi Shihab, yang saat itu berusia 12 tahun, mereka menuju Mesir dengan kapal Neptunia. Petualangan baru dimulai. Ia belajar di Mesir mulai dari bangku sekolah menengah hingga menjadi doktor di Universitas Al Azhar.

Ia menyelesaikan gelar doktor dan mendapat predikat Summa Cum Laude. Ia menjadi doktor ketiga alumni Mesir dari Indonesia. Sebelumnya ada Nahrawi Abdussalam dan Zakiah Darajat. Nahrawi dan Quraish sama-sama dari Al Azhar, sedangkan Zakiah dari Universitas Ain Syam di Kairo.

Di Makassar, keluarga Quraish sangat terpandang dan menjadi rujukan. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla punya kisah tentang pendirian Hotel Sahid. Saat itu, Jusuf Kalla mengajukan niat itu ke ayahnya Hadji Kalla. Sebelum menyetujuinya, Hadji Kalla lalu mengirim surat ke Quraish Shihab di Mesir. Ia ingin menunggu dulu fatwa ulama muda itu agar hatinya tenang. Nanti setelah Quraish membalas surat itu, barulah ijin pendirian hotel didapatkan.

Karier Quraish terus melejit. Dia menjadi rektor hingga menteri agama. Dia produktif menulis hingga melahirkan banyak kitab mengenai bidang tafsir Al Quran yang digelutinya. Terhadap semua perbedaan, ia menjawabnya deegan menuliskan buah-buah pikirannya.

Bagi banyak orang, Quraish sangat menginspirasi, khususnya saat membaca kitab-kitabnya yang tebal. Sejak masih di pesantren, ia sudah menulis. Pada usia 22 tahun, ia telah menulis Al-Khawathir dalam bahasa Arab. Puluhan tahun kemudian, karya pertamanya itu diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Logika Agama: Kedudukan Wahyu: Batas-Batas Akal dalam Islam.”

Ia juga banyak mengoleksi tulisan para kolumnis di Mesir. Quraish juga produktif menulis untuk media massa. Ia terkenang ucapan mantan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Prof Harun Nasution kepada Nurcholish Madjid. “Kamu jangan ceramah terus. Menulislah! Kau punya tulisan itu kekal, Ceramahmu mudah dilupakan orang.”

Quraish mengakui, pendidikan terbaik tetap didapatnya dari rumah. Ayahnya mengajarkan disiplin yang sangat ketat. Ia meminta semua anaknya melafalkan ratib al Haddad, yang disusun Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad sekitar lima abad silam, setiap usai salat magrib. Quraish masih ingat betul bahwa ratib ini selalu dibacanya setelah mendaras Al Quran.

Pesan Aba yang selalu mengiang di telinganya adalah “Bacalah Al Quran seakan-akan ia diturunkan padamu.” Belakangan ia tahu bahwa pesan itu adalah kutipan dari karya filosof asal Pakistan bernama Muhammad Iqbal.

Kenangan tentang Aba dan Emma adalah kenangan tentang petuah-petuah di meja makan. Emma selalu mengingatkan semua anaknya untuk makan hanya pada saat lapar. Ia selalu menyajikan menu khas Bugis Makassar.

HALAMAN BERIKUTNYA -->

>> Baca Selanjutnya