
“Kalau kita bicara soal gamer atau atlet e-sports, fasilitas itu penting,” ujar Irianto.
Ia menyebut bahwa kursi gaming yang ergonomis tak sekadar tren, tapi merupakan bagian dari strategi menjaga postur tubuh.
“Orang sering bilang, main game itu olahraga mahal. Kursinya saja bisa jutaan rupiah. Tapi memang, desainnya dibuat agar postur tidak terbebani.”
Fasilitas yang minim, terutama kursi dan meja yang tak sesuai tinggi badan, menurutnya menjadi faktor risiko utama FHP.
Bahkan duduk dalam waktu singkat pun bisa memicu postur buruk jika dilakukan dengan posisi yang salah. “Bukan durasinya, tapi bagaimana tubuh kita didukung selama aktivitas,” katanya.
FHP bukan masalah yang langsung terasa. Tak seperti cedera akut, ia berkembang diam-diam, kadang tanpa gejala awal.
Banyak pasien baru menyadarinya setelah merasa mudah lelah, nyeri bahu berkepanjangan, atau sulit bernapas secara optimal.
Menurut studi yang dikutip Irianto, tren FHP meningkat tajam di kalangan remaja dan mahasiswa pasca pandemi.
Lonjakan waktu layar yang tak sebanding dengan kesadaran ergonomi membuat keluhan postural menjadi umum di ruang praktik fisioterapi.
Di sinilah peran edukasi menjadi penting. Kampus, sekolah, bahkan komunitas gamer perlu mulai memperhatikan aspek ergonomi dasar—ketinggian layar, bentuk kursi, dan waktu istirahat aktif.
“Postur yang buruk itu seperti utang. Awalnya kecil, tapi bisa jadi beban besar di masa depan,” ujar Irianto.
Membenahi dari Akar
>> Baca Selanjutnya