MAKASSAR, UNHAS.TV - Pemerintah akan memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen mulai 1 Januari 2025. Pemerintah menyebutkan kenaikan pajak ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pro-kontra pun muncul. Penentang kenaikan pajak ini berpendapat, kebijakan itu akan menurunkan daya beli masyarakat dan menaikkan harga barang dan jasa. Selain itu memberi beban lebih besar kepada pengusaha sehingga bisa berdampak pada pemutusan hubungan kerja.
Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin (FEB Unhas), Prof Dr Mursalim Nohong SE MSi, kenaikan PPN harus dilihat dari dua hal.
Pertama, PPN sebagai salah satu sumber pendapatan negara sehingga kenaikan PPN juga akan menambah pendapatan negara.
Kedua, kenaikan PPN mengharuskan pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas produk maupun jasa. Kebijakan tersebut akan menambah biaya yang berimbas pada kenaikan harga barang.
"Dalam jangka panjang, kenaikan harga barang ini menuntut perusahaan untuk meningkatkan kualitas produksi agar seimbang dengan kenaikan harga. Perusahaan tentu saja akan merasionalisasi target-target yang telah ditetapkan," ujarnya
Ketua IKA Manajemen Unhas ini memperkirakan penyesuaian PPN tidak akan berdampak dalam jangka waktu yang lama. Kemungkinan, ini hanya memberi dampak psikologis saja.
Ia menambahkan, tantangan terdekat yang akan dihadapi pemerintah yakni pada Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri pada Maret dan April 2025, ketika kegiatan jual beli masyarakat cenderung meningkat dibanding hari-hari biasa.
"Sebelum itu terjadi, sebaiknya pemerintah memberikan stimulus," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati mengumumkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. Keputusan tersebut diumumkan pada rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (11/11/2024).
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, kemungkinan terjadi penundaan kenaikan PPN menjadi 12 persen. Penundaan itu setelah pemerintah mempertimbangkan berbagai pilihan untuk menjaga stabilitas ekonomi.(*)
Iffa Aisyah Rahman (Unhas TV)