News
Travel

Praha dan Vaclac Havel: Kota. Budaya, dan Demokrasi

Laporan Eka Sastra dari Praha, Republik Ceko

"Praha is not only a city, but a state of mind."

— Václav Havel

Betapa beruntungnya saya bisa ikut bersama rombongan Kak Taslim Arifin dan Prof. Puji dalam perjalanan ke Paris dan Praha untuk menghadiri simposium internasional.

Lebih beruntung lagi ketika saya diperkenankan ikut sampai ke Praha, kota yang sudah beberapa kali saya kunjungi, tetapi tak pernah terasa cukup. Mungkin juga karena saya terikat oleh sebuah mitos kecil: setiap kali berada di Praha, saya selalu menyentuh relief di bawah patung St. John of Nepomuk di Charles Bridge.

Konon, siapa pun yang menyentuh relief itu akan kembali lagi ke Praha suatu hari. Relief itu kini berkilau, bukan karena emas baru, melainkan karena jutaan tangan dari berbagai penjuru dunia yang meyakini mitos itu.

Saya salah satunya. Dan benar, entah bagaimana, setiap kesempatan selalu membawa saya kembali ke kota ini.

Praha adalah kota yang indah sekaligus penuh sejarah. Menara gotik, jembatan batu tua, dan alun-alun bersejarah menjadikannya salah satu kota paling memesona di Eropa. Namun, di balik pesonanya, ia menyimpan luka panjang: pernah dijajah Habsburg, dikuasai Nazi, didominasi Uni Soviet, hingga akhirnya menjadi pusat lahirnya demokrasi baru.

Sejak abad pertengahan, Praha dikenal sebagai pusat kebudayaan Eropa Tengah. Universitas Karlova (Charles University) berdiri sejak 1348 dan menjadi salah satu universitas tertua di benua itu.

Dari rahim kota inilah lahir para penulis besar: Franz Kafka, Bohumil Hrabal, Milan Kundera, hingga Václav Havel, dramawan yang kemudian menjelma menjadi simbol perlawanan dan demokrasi.

Dari Teater ke Politik

Tradisi intelektual Praha melahirkan sosok Václav Havel. Awalnya ia hanya dikenal sebagai penulis drama absurd. Namun karyanya jauh melampaui hiburan, melainkan kritik tajam terhadap absurditas birokrasi komunis.

Ia memulai karier di sebuah teater kecil di Praha. Dari panggung sederhana itu, Havel menunjukkan bagaimana bahasa resmi rezim begitu kaku, dingin, dan sarat kebohongan. Teater baginya adalah cara membongkar wajah asli kekuasaan.

Di kafe-kafe kota, seperti Café Slavia dan Café Louvre, para intelektual berkumpul, berdiskusi, dan merancang perlawanan. Dari lingkaran itu lahirlah Charter 77, manifesto hak asasi manusia yang menuntut pemerintah menghormati kesepakatan internasional.

Akibatnya, Havel berulang kali dipenjara. Dari balik jeruji, ia menulis surat-surat penuh renungan yang memperlihatkan keyakinannya: kebenaran moral pada akhirnya lebih kuat daripada kekuasaan.

November 1989 menjadi titik balik. Mahasiswa turun ke jalan memperingati Hari Mahasiswa Internasional. Aksi yang dibubarkan dengan kekerasan justru memicu gelombang besar.

Dalam hitungan hari, Wenceslas Square dipenuhi ratusan ribu orang. Mereka menggoyangkan kunci rumah di udara hingga berbunyi nyaring, simbol bahwa waktunya pintu penjara komunisme dibuka.

Dari balkon sebuah gedung, Havel berbicara pada rakyat. Kata-katanya sederhana, damai, namun sarat kekuatan moral. Bersama Civic Forum, ia memimpin transisi damai yang kemudian dikenal sebagai Revolusi Beludru.

Komunisme runtuh tanpa setetes darah. Beberapa minggu kemudian, 29 Desember 1989, Havel dilantik sebagai Presiden Cekoslowakia di Praha Castle, istana berusia seribu tahun yang dahulu simbol otoritarianisme.

Havel dan Praha Baru

Sebagai presiden, Havel tidak berubah menjadi politisi klasik. Ia tetap sederhana, lebih suka berdiskusi dengan seniman dan penulis ketimbang menjaga jarak sebagai penguasa. Istana presiden ia jadikan ruang pertemuan budaya, tempat politik dan seni berjalan beriringan.


>> Baca Selanjutnya