.webp)
perahu lambo yang sering digunakan nelayan Buton
Southon mencatat bahwa kepercayaan ini bukan sekadar takhayul, melainkan refleksi dari cara masyarakat Buton memahami keterhubungan antara manusia dan alam. Mereka memandang lautan bukan hanya sebagai jalur perdagangan, tetapi sebagai ruang hidup yang memiliki aturan dan keseimbangan tersendiri.
"Perahu dalam masyarakat Buton bukan hanya alat," ujar Southon dalam wawancara yang dikutip dalam bukunya. "Ia adalah cerminan dari struktur sosial dan spiritual mereka."
Ekonomi Maritim dan Struktur Sosial
Tak hanya soal kepercayaan dan filosofi, perahu juga mencerminkan tatanan sosial masyarakat Buton. Southon mencatat bagaimana struktur sosial mereka terbentuk berdasarkan hubungan dengan laut.
Kaum Kaomu—aristokrat Buton—mengendalikan kebijakan dan memiliki pengaruh besar dalam perdagangan. Kelompok Walaka berperan dalam hukum adat, memastikan keseimbangan sosial tetap terjaga.
Sementara itu, rakyat biasa, atau Papara, menjadi nelayan, pembuat kapal, dan pedagang kecil yang menggerakkan roda ekonomi.
Selama berabad-abad, sistem ini berjalan tanpa hambatan berarti. Hubungan dagang mereka dengan dunia luar tidak bergantung pada kontrak tertulis, melainkan pada kepercayaan dan kesepakatan lisan yang dijunjung tinggi. Namun, zaman berubah.
"Dulu, perdagangan mereka bergantung pada hubungan personal dan kepercayaan," kata Southon."Sekarang, sistem ekonomi global memaksa mereka untuk beradaptasi dengan aturan baru yang lebih formal dan kompetitif."
Anak-anak muda yang dahulu belajar membaca bintang untuk menavigasi laut, kini lebih memilih bekerja di sektor industri atau pariwisata. Tradisi pembuatan perahu kayu perlahan ditinggalkan, tergantikan oleh kapal bermesin yang lebih cepat dan efisien.
Gelombang Modernisasi dan Pudarnya Tradisi
Pergeseran ini semakin terasa ketika sistem pendidikan modern menggantikan cara belajar tradisional. Bahasa, nilai-nilai leluhur, dan bahkan ritual adat yang dulu mengiringi pembuatan perahu mulai menghilang.
"Generasi muda lebih memilih bekerja di kota atau menjadi TKI di luar negeri," ujar seorang tetua adat Buton dalam wawancara dengan Southon. "Mereka merasa kehidupan di laut terlalu berat dan tidak menjanjikan."
Meski demikian, sisa-sisa tradisi masih bertahan. Upacara adat seperti Posuo—ritual kedewasaan bagi perempuan Buton—masih dilaksanakan, meski tak seramai dulu. Begitu pula dengan sekelompok nelayan tua yang tetap setia berlayar dengan perahu kayu, menjaga warisan nenek moyang mereka di tengah derasnya perubahan.