Budaya
Opini

Tradisi Cemme Sollu/Mabbu'bu dalam Pernikahan Bugis-Makassar: Tinjauan Filosofis, Sosio-Kultural, Antropologis, dan Relevansinya dalam Islam

Syamsir

Oleh: Syamsir Nadjamuddin,S.Ag*

Tradisi Cemme Sollu (Bugis) atau Mabbu’bu (Makassar) merupakan prosesi penyucian diri secara lahir dan batin yang dilaksanakan menjelang akad nikah. Sebagai bagian dari adat istiadat pernikahan suku Bugis-Makassar, ritual ini mengandung nilai-nilai simbolik, sosial, kultural, dan spiritual. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis tradisi tersebut dari sudut pandang filsafat, antropologi budaya, serta meninjau relevansinya dalam Islam. Melalui pendekatan deskriptif-kualitatif dan wawancara dengan narasumber lokal, ditemukan bahwa Cemme Sollu/Mabbu’bu bukan hanya ritual simbolik, melainkan juga sarana edukasi sosial, pelestarian identitas budaya, serta penyambung antara adat dan nilai-nilai agama.

Masyarakat Bugis-Makassar dikenal dengan sistem nilai budaya yang kompleks dan kaya, khususnya dalam prosesi pernikahan. Salah satu ritual unik yang tetap lestari hingga kini adalah Cemme Sollu (dalam bahasa Bugis) atau Mabbu’bu (dalam bahasa Makassar), yakni mandi suci sebagai simbol persiapan lahir-batin menuju pernikahan. Tradisi ini bukan sekadar prosesi adat, melainkan representasi dari nilai spiritual, penghormatan sosial, serta kesiapan eksistensial dalam memasuki kehidupan rumah tangga.

Tinjauan Filosofis

Dari sudut pandang filsafat eksistensial, Cemme Sollu/Mabbu’bu menjadi simbol transisi penting dalam kehidupan manusia. Ritual mandi bukan hanya bersifat fisik, namun merupakan ruang kontemplasi, di mana individu membersihkan dirinya dari masa lalu dan bersiap memasuki fase hidup baru secara sadar dan utuh.

Dalam filsafat simbolik, air melambangkan kesucian dan permulaan baru, sementara bunga menyimbolkan keindahan, harapan, serta keragaman emosi dalam rumah tangga. Perpaduan keduanya menunjukkan bahwa pernikahan bukan semata kontrak sosial, melainkan ikatan yang sarat nilai estetika dan spiritual.

Sebagai bagian dari filsafat budaya, ritual ini mencerminkan pewarisan nilai-nilai luhur, memperkuat identitas kolektif, dan menegaskan bahwa pernikahan adalah jalinan sosial yang lebih luas daripada sekadar hubungan dua insan.

Tinjauan Sosio-Kultural

Menurut budayawan Andi Tenri Dalle, “Tradisi ini bukan sekadar bersih-bersih badan, tetapi simbol kesiapan lahir-batin.” Ini menunjukkan bahwa tradisi tersebut sarat nilai sosial dan penghormatan terhadap tatanan keluarga serta komunitas.

Struktur Kekerabatan

Tradisi ini menegaskan pentingnya peran keluarga besar dalam pernikahan, di mana kehadiran orang tua dan tetua adat menunjukkan keterlibatan sosial kolektif.

Mempelai wanita sedang menjalani tradisi Cemme Sollu (Bugis) atau Mabbu’bu (Makassar) . Credit: Dokumen Pribadi.
Mempelai wanita sedang menjalani tradisi Cemme Sollu (Bugis) atau Mabbu’bu (Makassar) . Credit: Dokumen Pribadi.


Identitas dan Solidaritas Budaya

Cemme Sollu/Mabbu’bu adalah sarana pewarisan identitas dan peneguhan solidaritas budaya di tengah arus modernisasi.

Fungsi Edukatif

Ritual ini menjadi media edukasi nilai, etika, dan kesadaran religius bagi generasi muda.

Integrasi Adat dan Religiusitas

Tradisi ini tidak bertentangan dengan agama, melainkan menjadi ruang bersinerginya nilai adat dan spiritualitas.

Tinjauan Antropologi Budaya

Dalam perspektif antropologi budaya, ritual ini merupakan bagian dari sistem nilai yang menunjukkan struktur sosial dan relasi simbolik yang hidup dalam masyarakat.

Simbolisme Air dan Bunga

Air bukan hanya penyuci fisik, tapi simbol kelahiran kembali. Bunga melambangkan keindahan dan restu.

Struktur Sosial

Pelaksanaan ritual menunjukkan adanya struktur sosial yang terorganisir, di mana peran orang tua dan tetua adat sangat penting.

Rites of Passage

Mengacu pada teori rites of passage Van Gennep, Cemme Sollu/Mabbu’bu merupakan fase pemisahan dari status lajang menuju status sosial baru.

Relevansi dalam Perspektif Islam

Dalam Islam, konsep kesucian sangat dijunjung tinggi. Nabi Muhammad SAW bersabda:

“At-thuhuru syathrul iman” (Kebersihan adalah sebagian dari iman) – HR. Muslim.

Kesucian dan Thaharah

Mandi suci dalam tradisi ini sejalan dengan nilai thaharah dalam Islam. Meskipun bentuknya berbeda, maknanya selaras dengan prinsip kebersihan dalam menyambut ibadah besar seperti pernikahan.

Restu Orang Tua

Islam mendorong pentingnya restu orang tua dalam pernikahan. Dalam ritual ini, orang tua memberi doa dan menyiramkan air sebagai simbol restu dan pemberkatan.

Tujuan Pernikahan: Sakinah, Mawaddah, wa Rahmah

Ritual ini mengarah pada terbentuknya keluarga yang harmonis, selaras dengan tujuan pernikahan dalam Islam.

Tradisi Cemme Sollu/Mabbu’bu adalah warisan budaya Bugis-Makassar yang bukan sekadar ritual adat, tetapi juga cermin nilai-nilai spiritual, sosial, dan budaya yang dalam. Ia menunjukkan bagaimana masyarakat memaknai pernikahan sebagai peristiwa sakral yang melibatkan individu, keluarga, dan komunitas. Dengan pendekatan filosofis, sosio-kultural, dan antropologis, serta ditinjau dalam perspektif Islam, tradisi ini terbukti tidak hanya relevan tetapi juga memperkaya khazanah budaya dan spiritual Nusantara.

Sumber Rujukan:

  • Al-Qur'an. (n.d.). Al-Qur'an al-Karim, Terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia. Jakarta: Kementerian Agama RI.
  • Abdurrahman, M. (2018). Adat dan Islam dalam Tradisi Pernikahan Bugis Makassar. Makassar: Pustaka La Galigo.
  • Daeng, H. (2020). “Makna Simbolik Ritual Mabbu’bu dalam Budaya Makassar.” Jurnal Antropologi Budaya, 12(2), 122-136.
  • Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
  • Malinowski, B. (1944). A Scientific Theory of Culture. Chapel Hill: University of North Carolina Press.
  • Wawancara dengan Andi Tenri Dalle (Budayawan Bugis), Soppeng, 2024.
  • Abdullah, M. A. (2003). Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Amir, M. S. (2002). Adat Perkawinan dan Sistem Kekerabatan Suku Bugis. Makassar: Yayasan Obor Sulawesi Selatan.
  • Bakker, A., & Zubair, A. (1990). Filsafat Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
  • Coulter, J. (2001). Symbolic Interactionism: An Introduction, an Interpretation, an Integration. New Jersey: Prentice Hall.
  • Kleden, I. (2004). Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: Kompas.
  • Magnis-Suseno, F. (1992). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
  • Marzuki, H. (2018). Filsafat Kebudayaan: Sebuah Ikhtiar Memahami Makna Hidup Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Nasr, S. H. (1996). Islamic Life and Thought. New York: State University of New York Press.
  • Ricoeur, P. (1976). Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Fort Worth: Texas Christian University Press.
  • Sartre, J. P. (2007). Existentialism is a Humanism. New Haven: Yale University Press.
  • Syahrir, R. (2010). Nilai-Nilai Budaya Lokal dalam Upacara Adat Pernikahan Masyarakat Bugis-Makassar. Makassar: Balai Pelestarian Nilai Budaya.
  • Zubair, A. (2014). Kearifan Lokal dan Tantangan Globalisasi. Bandung: Humaniora Utama Press.
  • Daeng, A. R. (2015). Struktur dan Fungsi Adat dalam Masyarakat Bugis-Makassar. Makassar: Pustaka Budaya Timur.
  • Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Latief, H. (2013). Tradisi dan Kearifan Lokal dalam Islam Nusantara. Yogyakarta: LKiS.
  • Mauluddin, A. (2011). Nilai-Nilai Sosial Budaya dalam Upacara Adat Perkawinan Bugis-Makassar. Makassar: Balai Pelestarian Nilai Budaya.
  • Muthalib, A. (2006). Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Bugis-Makassar. Jakarta: Yayasan Kebudayaan Sulapa Eppa'.
  • Nasrullah, A. (2020). Tradisi dan Religi dalam Masyarakat Bugis-Makassar. Makassar: Nala Cipta Mandiri.
  • Putra, Y. (2018). Identitas dan Budaya Lokal: Dinamika Nilai dalam Masyarakat Adat. Bandung: Humaniora Press.
  • Rappang, S. (2017). Sistem Nilai dan Upacara Tradisional di Sulawesi Selatan. Makassar: La Galigo Institute.
  • Ernas, S. (2014). Makna Simbolik Tradisi dalam Perkawinan Bugis-Makassar. Makassar: Pustaka Pelestari Budaya.
  • Rahim, H. (2010). Struktur Sosial dan Budaya Bugis. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulapa Eppa'.
  • Spradley, J. P. (1997). The Ethnographic Interview. Fort Worth: Harcourt Brace College Publishers.
  • van Gennep, A. (1960). The Rites of Passage. Chicago: University of Chicago Press.
  • Zubair, A. (2014). Kearifan Lokal dan Tantangan Globalisasi. Bandung: Humaniora Utama Press.
  • Hassan, M. (2005). Pernikahan dalam Perspektif Islam: Antara Adat dan Syariat. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
  • Sabiq, S. (1995). Fiqh Sunnah: Fiqh Ibadah dan Pernikahan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
  • Scholz, E. (2006). Islam dan Tradisi Lokal: Kajian Sosial Budaya Masyarakat Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus.

*Penulis adalah Aparat Sipil Negara (ASN) Kementerian Agama (Kemenag) Maros