MAKASSAR, UNHAS.TV - Dua pekan setelah banjir besar melanda sejumlah wilayah di Sumatra, proses pemulihan masih menghadapi banyak kendala, terutama bagi warga penyandang disabilitas.
Keterbatasan akses terhadap listrik, air bersih, pangan, serta layanan kesehatan membuat kelompok ini berada dalam kondisi yang sangat rentan.
Kepala Pusat Disabilitas Universitas Hasanuddin, Dr. Ishak Salim, mengungkapkan bahwa kondisi di lapangan menunjukkan kebutuhan mendesak akan penanganan yang lebih inklusif.
“Warga disabilitas terdampak banjir menghadapi tantangan berlapis. Bukan hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga keterbatasan akses bantuan yang sesuai dengan kebutuhan mereka,” ujarnya, Selasa.
Berdasarkan pendataan Tim Relawan Kemanusiaan Pusat Disabilitas Unhas, terdapat 104 warga disabilitas terdampak banjir di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Dari jumlah tersebut, 39 orang mengalami kerusakan rumah, dengan enam rumah dilaporkan rusak berat dan tidak layak huni.
Ragam disabilitas yang terdata meliputi disabilitas fisik, netra, Tuli, dan autistik, yang masing-masing memerlukan dukungan spesifik, mulai dari hunian ramah disabilitas hingga pendampingan psikososial.
.webp)
Sebaran korban terbanyak tercatat di Kecamatan Meurah Dua dengan 29 orang, disusul Meureudu 23 orang, Jangka Buya 16 orang, Bandar Dua 12 orang, dan Ulim 9 orang.
Data ini menunjukkan bahwa hampir 37,5 persen warga disabilitas yang terdata terdampak langsung oleh banjir, sementara sekitar 5,8 persen mengalami kerusakan rumah berat.
Dr. Ishak menambahkan, Pusat Disabilitas Unhas berkomitmen menyalurkan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan warga disabilitas, termasuk paket pangan, alat bantu mobilitas, serta dukungan psikososial.
“Kami mengajak masyarakat, khususnya di Sulawesi, untuk terlibat melalui donasi, dukungan logistik, maupun menjadi relawan. Solidaritas yang inklusif sangat dibutuhkan agar tidak ada yang tertinggal dalam proses pemulihan pascabencana,” katanya.
Menurut Dr. Ishak Salim, angka-angka tersebut tidak boleh dipahami sebatas laporan administratif atau tabel pendataan. Di balik setiap data, ada individu dengan keterbatasan mobilitas, sensorik, maupun psikososial yang menghadapi hambatan berlipat saat bencana terjadi.
“Bagi warga disabilitas, banjir bukan hanya soal air yang masuk ke rumah, tetapi juga hilangnya akses terhadap alat bantu, obat-obatan rutin, layanan kesehatan, serta pendamping yang selama ini menopang kehidupan mereka,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa dalam situasi darurat, keterlambatan atau ketidaktepatan bantuan dapat berakibat fatal bagi penyandang disabilitas. Tanpa hunian yang aman dan ramah disabilitas, risiko cedera lanjutan, gangguan kesehatan mental, hingga marginalisasi sosial semakin besar.
Karena itu, menurutnya, respons kemanusiaan harus dirancang secara inklusif sejak awal, dengan mempertimbangkan kebutuhan spesifik tiap ragam disabilitas.
“Sumatra masih membutuhkan uluran tangan kita,” kata Kepala Pusat Disabilitas Universitas Hasanuddin itu. Ia menegaskan, bantuan yang tepat sasaran—baik berupa pangan, alat bantu mobilitas, maupun dukungan psikososial—akan sangat menentukan keselamatan dan keberlanjutan hidup warga disabilitas pascabencana.
“Solidaritas inklusif adalah kunci agar proses pemulihan benar-benar adil dan tidak meninggalkan siapa pun,” tutup Dr. Ishak Salim.








