* Oleh: Muhammad Afriansyah
RESHUFFLE kabinet merupakan salah satu instrumen penting dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia.
Perubahan susunan menteri pada Kabinet Merah Putih di bawah Presiden Prabowo Subianto menunjukkan bagaimana dinamika politik dan hukum berjalan berdampingan.
Dalam kerangka konstitusional, reshuffle merupakan wujud dari hak prerogatif presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
Norma konstitusi ini memberikan kewenangan penuh kepada presiden untuk menilai dan mengevaluasi kinerja para pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahan.
Kita mengacu pada perspektif hukum tata negara, hak prerogatif presiden ini tidak berdiri dalam ruang hampa.
Ia harus dijalankan dalam kerangka prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Artinya, reshuffle bukan sekadar pertukaran posisi politik, tetapi juga merupakan instrumen untuk memperkuat akuntabilitas, efektivitas, dan responsivitas pemerintahan. Dalam konteks ini, teori hukum responsif yang dikemukakan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick relevan untuk digunakan.
Reshuffle yang dilakukan sebagai respon terhadap kritik publik dan kebutuhan perbaikan birokrasi menunjukkan bahwa hukum dan kebijakan publik bersifat dinamis, bergerak sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Selain itu, dalam tataran teori kekuasaan negara, Montesquieu menekankan perlunya distribusi kekuasaan yang seimbang agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.
Presiden dalam melakukan reshuffle memang memiliki kewenangan penuh, namun langkah tersebut tetap berada dalam pengawasan politik melalui DPR serta evaluasi publik sebagai bagian dari prinsip checks and balances.
Oleh karena itu, setiap keputusan reshuffle tidak hanya diuji dari sisi legalitas, tetapi juga dari segi legitimasi politik dan sosial.
Dalam praktiknya, reshuffle yang telah dilakukan pada periode Prabowo memperlihatkan dua sisi. Di satu sisi, pergantian menteri tertentu dapat dimaknai sebagai bentuk adaptasi terhadap tantangan baru, baik di bidang ekonomi, keamanan, maupun diplomasi.
Di sisi lain, reshuffle juga dapat menimbulkan polemik, khususnya ketika publik menilai adanya pertimbangan politik yang lebih dominan dibandingkan kebutuhan obyektif birokrasi.
Namun, dalam kerangka teori hukum, hal ini justru menunjukkan bagaimana hukum berfungsi tidak hanya sebagai norma tertulis, tetapi juga sebagai instrumen pengendali dinamika politik agar tetap berada pada jalur konstitusional.
Maka sebagai konklusi, dinamika reshuffle kabinet pada masa Presiden Prabowo merupakan konsekuensi logis dari sistem presidensial yang memberikan ruang prerogatif kepada presiden untuk mengatur komposisi pembantunya.
Kewenangan tersebut dijalankan dalam rangka memastikan tercapainya tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yakni mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial.
Dengan demikian, reshuffle tidak semata-mata dilihat sebagai pergulatan politik, tetapi sebagai mekanisme hukum dan konstitusional yang bertujuan untuk memperkuat tata kelola pemerintahan serta mendorong kemajuan bangsa. (*)
* Penulis, Alumnus Fakultas Hukum Unhas dan Advokat LBH GP Ansor Kota Makassar.