Saintek

Revolusi Arkeologi Dimulai dari Peru

Peru

PERU, UNHAS.TV- Di hamparan gurun kering di selatan Peru, garis-garis raksasa membentang diam di atas tanah selama lebih dari dua milenium. Dikenal sebagai garis-garis Nazca, formasi geometris dan figuratif itu telah memukau dunia sejak pertama kali terdeteksi dari udara pada awal abad ke-20. Namun, baru pada tahun 2025, salah satu misteri arkeologi terbesar itu mulai terbuka, bukan oleh cangkul atau kuas arkeolog, melainkan oleh kecerdasan buatan—AI.

Bekerja sama dengan IBM Research dan menggunakan algoritma pemrosesan citra terbaru, tim dari Universitas Yamagata Jepang yang dipimpin oleh Prof. Masato Sakai berhasil mengidentifikasi 303 geoglyph baru hanya dalam waktu kurang dari enam bulan. Temuan ini diumumkan secara resmi pada Januari 2025 melalui siaran pers gabungan antara IBM dan Universitas Yamagata, menandai salah satu lompatan terbesar dalam sejarah eksplorasi arkeologi berbasis digital.

“Dengan metode konvensional, dibutuhkan lebih dari satu dekade untuk mencapai jumlah temuan serupa,” ujar Prof. Sakai dalam wawancara yang dikutip oleh CNN International (20 Maret 2024). “Teknologi AI telah mempercepat proses eksplorasi dengan tingkat presisi yang tak terbayangkan sebelumnya.”

Ziarah Spiritual dalam Bentuk Geometris

Penemuan ini bukan hanya soal jumlah, tapi juga soal makna. Banyak dari geoglyph baru yang ditemukan memiliki orientasi linier dan berada di jalur yang secara topografis memungkinkan untuk dilalui manusia. Berdasarkan analisis pola, tim Sakai menduga bahwa bentuk-bentuk tersebut merupakan bagian dari jalur ziarah, tempat warga Nazca kuno berjalan dalam prosesi ritual keagamaan.

Dalam laporan yang diterbitkan di Nature Scientific Reports edisi Februari 2024, para peneliti menunjukkan korelasi antara lokasi geoglyph dengan orientasi astronomis dan keberadaan sumber air purba, memperkuat teori bahwa garis Nazca bukan sekadar karya seni monumental, melainkan juga penanda spiritual dan ekologis.

Arkeologi Baru: Menggali Lewat Awan Data

Temuan ini juga mencerminkan transformasi radikal dalam metode arkeologi. AI tidak sekadar membaca citra satelit beresolusi tinggi, melainkan juga dilatih untuk mengenali pola spesifik melalui ribuan data visual dari drone, LIDAR, hingga peta kontur tanah.

Teknologi yang digunakan oleh tim Sakai dikembangkan bersama unit AI IBM Jepang, berbasis model deep learning yang dipublikasikan sebagai bagian dari IBM Research Global Archaeology Initiative, Januari 2025. Dalam laporan teknisnya, algoritma tersebut disebut mampu mengenali anomali visual di medan yang sebelumnya dianggap kosong, dan memverifikasinya dengan presisi tinggi melalui analisis topografi digital.

>> Baca Selanjutnya