Sebagai Direktur Program Yayasan KEHATI, pria berperawakan tenang ini telah melanglang berbagai sudut Indonesia untuk merawat dan menyuarakan satu kata kunci: biodiversitas. Dari hutan Kalimantan yang jadi rumah orangutan, hingga laut Maluku yang menyimpan ikan endemik, semua menyuarakan hal yang sama—alam sedang kelelahan.
Di tengah kesibukan menjalankan program konservasi, alumnus Ilmu Kelautan, Universitas Hasanuddin ini, memilih menulis buku. Perspektif Keanekaragaman Hayati, begitu judulnya, dirangkai dari serangkaian naskah dan bahan webinar selama pandemi Covid-19.
“Saya ingin menyusun narasi utuh, karena keanekaragaman hayati selama ini terlalu sering dibicarakan secara sektoral,” katanya.
Buku itu tak ditulis dengan gaya ilmiah kaku. Alih-alih menggurui, Rony menulis seperti bercerita. Ia mengajak pembaca masuk ke dalam hutan, menyelami laut, meniti sawah, dan mengendus ancaman yang nyaris tak kasatmata: kerusakan biodiversitas yang berlangsung diam-diam tapi pasti.
“Orang tidak sadar, bahwa oksigen yang kita hirup, air yang kita minum, sampai obat yang kita konsumsi, semua bersumber dari keanekaragaman hayati,” ucap Rony. Buku itu menggambarkan bagaimana semua kehidupan manusia bertumpu pada tiga hal: spesies, genetik, dan ekosistem. Bila satu rusak, yang lain ikut limbung.
Data yang ia kutip mencemaskan. Menurut IPBES, lebih dari satu juta spesies terancam punah akibat ulah manusia. Di Indonesia, dua spesies besar bahkan sudah hilang: harimau Bali dan harimau Jawa.
Namun lebih dari sekadar angka, Rony menyoroti minimnya kesadaran publik. “Kerusakan ini terjadi bukan hanya karena keserakahan, tapi juga karena ketidaktahuan,” katanya.
_1.webp)
Rony mengajak berpikir ulang soal pembangunan. Menurutnya, konservasi tak harus berarti anti-ekonomi. Justru, ia mendorong transformasi agar ekonomi bertumpu pada prinsip keberlanjutan.
Dalam bukunya, ia menyinggung soal pertanian regeneratif, perdagangan karbon, dan investasi hijau. “Bisnis bisa untung sambil memperbaiki lingkungan,” ujarnya mengutip gagasan Michael Porter.
Ia juga menjelaskan mengapa dunia keuangan kini mulai melirik aspek ESG—Environmental, Social, and Governance—dalam investasi. Yayasan KEHATI, tempat ia bekerja, bahkan mengelola Indeks SRI-KEHATI di Bursa Efek Indonesia, yang hanya memuat emiten yang ramah lingkungan.
“Ada tren global, investor besar sekarang tidak mau taruh uangnya di perusahaan perusak,” katanya.
Buku Perspektif Keanekaragaman Hayati bukan hanya dokumen pengetahuan. Ia adalah narasi yang mencoba menyatukan yang terpecah: ekologi dan ekonomi, ilmu dan kebijakan, sains dan spiritualitas. Tak heran jika di halaman awalnya, Rony mengutip ayat suci: “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah: 11)
Ia berharap buku ini dapat menggerakkan lebih banyak orang untuk ikut serta dalam menjaga “nafas bumi”. “Tidak ada planet B,” katanya lirih, “jadi kita tak punya pilihan lain selain menjaga yang ini.”
Bisnis, Bambu, dan Badak
Di bab-bab selanjutnya, Rony Megawanto mengajak pembaca menelusuri percabangan isu yang bersilangan antara ekonomi dan konservasi. Satu bab membahas ekonomi keanekaragaman hayati, dengan kutipan tajam dari Dasgupta Review: biosfer sudah tidak mampu lagi memenuhi permintaan manusia secara berkelanjutan.
“Kita tidak sedang mengelola alam, yang kita kelola adalah manusia—agar tak terus menerus merusak,” tulis Rony.
>> Baca Selanjutnya