Saintek

Rony Megawanto dan Ikhtiar Menjaga Nafas Bumi



Rony Megawanto

Tak hanya memotret masalah, Rony menawarkan solusi. Salah satunya lewat konsep investasi hijau dan transformasi dunia usaha dengan prinsip ESG. Ia mengangkat kisah Indeks SRI-KEHATI sebagai contoh konkret. Indeks ini menyeleksi emiten-emiten di Bursa Efek Indonesia berdasarkan kinerja keberlanjutan. “Tak ada tempat lagi bagi bisnis yang merusak lingkungan,” katanya.

Dalam buku ini, Rony juga mengangkat sisi-sisi tak terduga dari isu keanekaragaman hayati. Ia menulis tentang bambu sebagai rumput raksasa yang cepat tumbuh dan potensial menggantikan bahan bangunan dari kayu. 

Ia mengulas sorgum sebagai pangan masa depan, kopi yang bisa lestari, dan pala yang telah berjaya sejak zaman penjajahan. Tak ketinggalan, ia menyoroti tanaman sagu, yang selama ini dianggap "makanan darurat", padahal punya potensi besar sebagai alternatif pangan lokal.

“Tanaman-tanaman lokal seperti ini menyimpan kearifan dan solusi ekologis,” ujar Rony. 

Ia mengajak pembaca untuk berpikir ulang: jangan sampai biodiversitas lokal justru punah karena kita terlalu tergantung pada produk impor dan tanaman monokultur.

Dalam satu bab yang lain, Rony menyentil isu pelik: kelestarian spesies kunci seperti badak. Satwa ini disebutnya sebagai fosil hidup—makhluk purba yang berhasil melewati zaman es tapi kini kalah oleh keserakahan manusia. “Badak tidak punah karena alam. Mereka punah karena manusia,” tulisnya.

Iklim, Karbon, dan Kepunahan Keenam

Dalam bagian akhir bukunya, Rony menantang pembaca untuk menyatukan dua arus besar: perubahan iklim dan keanekaragaman hayati. Keduanya, kata dia, adalah persoalan antroposen—masa ketika manusia menjadi kekuatan geologis yang mengubah wajah bumi. “Tidak mungkin bicara pelestarian tanpa menyentuh soal karbon dan krisis iklim,” ujarnya.

Ia menjelaskan bagaimana pemanasan global mengubah pola hidup satwa, mengganggu siklus tanam petani, memutihkan terumbu karang, hingga mempercepat migrasi manusia dari daerah pesisir.

Diplomasi iklim menjadi sangat penting di tengah konflik antara pembangunan dan keberlanjutan. “Jika negara tropis seperti Indonesia kehilangan hutan, maka seluruh dunia akan membayar harganya,” katanya.

Rony mengkritik pendekatan pembangunan yang masih terjebak pada kurva Kuznets: ekonomi dulu, lingkungan belakangan. Padahal, menurutnya, titik balik itu bisa jadi datang terlambat. “Kita tidak tahu apakah bumi akan menunggu kita berubah,” ucapnya.

Kini, setelah ratusan halaman ia tuliskan, Rony menyadari: perjuangan melindungi keanekaragaman hayati bukan semata kerja teknokratis. Ia adalah kerja lintas iman, ilmu, dan empati.

“Masa depan bukan soal teknologi semata,” katanya, “tapi tentang apakah manusia mau menahan diri.”