Tahukah Kamu?

Sulawesi Selatan Ada di Musim Kemarau, tapi Mengapa Selalu Hujan? Ini Penjelasannya

MAKASSAR, UNHAS.TV - Sejatinya, sejak pertengahan April 2025, sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan, sudah berada di musim kemarau. Namun, anehnya justru pada musim kemarau itu hujan masih sering turun. Fenomena apa ini?

Secara singkat, ini adalah fenomena alam bernama kemarau basah atau hujan yang terjadi di musim kemarau, menjadi topik menarik karena bertentangan dengan pola musiman yang umum di Indonesia. 

Biasanya, musim kemarau ditandai dengan cuaca kering dan curah hujan yang minim. Namun, pada kondisi tertentu, hujan dapat terjadi meskipun berada di puncak musim kemarau. 

Kemarau basah adalah kondisi ketika terjadi hujan yang tidak biasa selama musim kemarau, yang secara umum berlangsung antara April hingga Oktober di Indonesia. 

Fenomena ini ditandai dengan curah hujan yang lebih tinggi dari rata-rata musiman di beberapa wilayah, meskipun intensitas dan distribusinya tidak sebesar pada musim hujan. Kemarau basah sering kali membingungkan masyarakat karena bertentangan dengan ekspektasi cuaca kering.

Fenomena kemarau basah dipengaruhi oleh beberapa faktor meteorologi dan oseanografi, baik lokal maupun global. Berikut adalah penyebab utamanya:

- Angin Monsun yang Tidak Stabil: Angin monsun timur, yang biasanya membawa udara kering selama musim kemarau, dapat terganggu oleh sistem tekanan rendah atau siklon tropis di sekitar wilayah Indonesia. Hal ini memicu pembentukan awan hujan.

- Konvergensi Angin: Pertemuan angin dari berbagai arah di wilayah tertentu dapat menyebabkan pembentukan awan konvektif, yang menghasilkan hujan lokal meskipun musim kemarau.

- Efek Topografi: Di wilayah pegunungan seperti Jawa, Sumatra, atau Sulawesi, udara lembap yang naik karena efek orografi (pengangkatan udara oleh pegunungan) dapat memicu hujan lokal.

- La Niña: Fenomena La Niña, yang ditandai dengan pendinginan suhu permukaan laut di Pasifik tengah, dapat meningkatkan curah hujan di Indonesia, bahkan selama musim kemarau. Ini karena La Niña memperkuat aktivitas konveksi di wilayah tropis.

- Madden-Julian Oscillation (MJO): MJO adalah gelombang atmosfer yang bergerak dari barat ke timur di wilayah tropis. Fase aktif MJO dapat membawa awan hujan ke Indonesia, menyebabkan kemarau basah.

- Indian Ocean Dipole (IOD): IOD negatif, di mana suhu permukaan laut di Samudra Hindia bagian timur lebih hangat, dapat meningkatkan curah hujan di Indonesia, termasuk selama musim kemarau.

- Perubahan Iklim: Perubahan iklim global turut memengaruhi pola cuaca di Indonesia. Pemanasan global dapat memperkuat ketidakstabilan atmosfer, meningkatkan kelembapan udara, dan memicu hujan yang tidak terduga di musim kemarau. Selain itu, perubahan pola angin dan suhu laut akibat perubahan iklim juga berkontribusi pada fenomena ini.

Kemarau basah biasanya tidak berlangsung lama, hanya beberapa hari hingga beberapa minggu di wilayah tertentu. Hujan yang terjadi cenderung bersifat lokal dan tidak merata.

Jika dipicu oleh La Niña atau MJO, kemarau basah dapat berlangsung lebih lama, bahkan hingga beberapa minggu dalam satu periode musim kemarau. Misalnya, pada tahun-tahun La Niña seperti 2010 atau 2020, hujan sporadis lebih sering terjadi.

Wilayah seperti Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi lebih rentan mengalami kemarau basah karena pengaruh topografi dan kedekatan dengan Samudra Hindia. Sementara itu, Jawa dan Bali cenderung lebih kering, meskipun hujan lokal tetap mungkin terjadi.

Fenomena ini biasanya mereda menjelang akhir musim kemarau (September-Oktober), ketika pola cuaca mulai beralih ke musim hujan.

Namun, dengan adanya perubahan iklim, batas antara musim kemarau dan musim hujan menjadi semakin kabur, sehingga kemarau basah dapat terjadi lebih sering atau pada waktu yang tidak terduga.(*)