
Karikatur satir tentang ketahanan Rusia di tengah sanksi ekonomi Amerika Serikat. Credit: DALL-E .
Di bidang teknologi, sanksi AS yang membatasi akses Rusia ke komponen elektronik dan perangkat lunak canggih justru memicu gelombang substitusi impor. Perusahaan-perusahaan Rusia didorong untuk mengembangkan teknologi domestik, meski dengan kualitas yang masih tertinggal. Industri pertahanan, misalnya, berhasil menciptakan rudal hipersonik Avangard dan sistem pertahanan udara S-400—produk yang tidak hanya dipakai domestik, tetapi juga diekspor ke negara-negara seperti India dan Turki. Di sektor sipil, mesin pencari Yandex dan platform VK (versi Rusia dari Facebook) tumbuh sebagai alternatif lokal. Namun, upaya ini tidak sepenuhnya mulus. Ketergantungan pada chip asing dan kurangnya inovasi sipil masih menjadi ganjalan.
Di panggung diplomasi, Rusia memainkan kartu "soft power" dengan cerdas. Moskow memperluas pengaruhnya di Timur Tengah melalui intervensi di Suriah, menjual senjata ke negara-negara Afrika, dan membangun hubungan dengan kekuatan menengah seperti Iran dan Turki. Membatasi pengaruhnya di Israel dan lebih memainkan diplomasi humanis yang lebih condong ke Palestina atas agresi militer Israel. Setiap langkah ini tidak hanya tentang geopolitik, tapi juga tentang membuka jalur ekonomi baru. Di tengah sanksi Barat, Rusia menjadikan diplomasi sebagai alat untuk menciptakan jaringan dagang alternatif. Bahkan di tengah perang di Ukraina, Rusia tetap mampu mengekspor gandum ke Afrika dan Timur Tengah—sekaligus menggunakan komoditas ini sebagai alat pengaruh politik. Namun, strategi Rusia tidak lepas dari paradoks. Di satu sisi, Moskow ingin mandiri dari Barat; di sisi lain, elit bisnis Rusia masih menyimpan aset di London atau Brussels.
Sanksi negara barat yang didalangi oleh Amerika Serikat juga memperburuk kesenjangan ekonomi dalam negeri. Meski cadangan devisa Rusia mencapai ratusan miliar dolar, bagi masyarakat biasa ataupun pelajar internasional yang menimba ilmu di negeri Beruang Merah merasakan dampak inflasi dan kenaikan harga barang pangan dan kebutuhan primer. Pemerintah Vladimir Putin berusaha mengimbanginya dengan meningkatkan produksi pertanian sebuah kebijakan yang sukses menjadikan Rusia eksportir gandum terbesar dunia tapi tetap saja, ekonomi Rusia belum sepenuhnya keluar dari bayang-bayang ketergantungan pada komoditas.
Pada akhirnya, yang dilakukan Rusia bukanlah tentang mengalahkan “Gank barat” yang diprakarsai AS dalam perang ekonomi, melainkan tentang bertahan dan mencari celah di tengah sistem yang tidak adil. Moskow mungkin tidak akan pernah menyaingi kekuatan ekonomi AS yang didukung oleh teknologi mutakhir, mata uang global, dan jaringan aliansi yang solid dari sekutunya. Tapi dengan kombinasi ketahanan domestik, diplomasi cerdas, lincah, dan kerja sama dengan kekuatan non-Barat, Rusia membuktikan bahwa tekanan ekonomi AS bukanlah akhir cerita. Di dunia yang semakin multipolar, Moskow sedang menulis cerita baru dan menjadi pemain yang sulit dihancurkan dan sekaligus pengganggu yang terus mengikis pondasi hegemoni Barat.
*Penulis adalah Kandidat Doktor Hubungan Internasional dari University People’s Friendship of Russia