Lingkungan

Saat Juventus Posting Ilustrasi Menyelam di Wakatobi

Di tengah perayaan Hari Laut Sedunia, sebuah gambar sederhana muncul di akun Instagram resmi @juventus. Tiga pemain klub raksasa asal Italia itu, lengkap dengan jersey putih-hitam ikonik, tampak menyelam di antara ikan tropis, karang warna-warni, dan seekor penyu yang melintas pelan. 

Di permukaan air, berdiri tegak papan kayu bertuliskan “WAKATOBI”. Rumah-rumah panggung khas dan bendera merah-putih menegaskan: ini laut kita. Ini Indonesia.

Tak perlu caption panjang. Juventus hanya menulis: “Selamat Hari Laut Sedunia, Bianconeri! ߌ” Tapi itu cukup untuk membangkitkan gelombang kebanggaan di jagat maya. Wakatobi—gugusan pulau kecil di ujung tenggara Sulawesi—mendadak masuk dalam sorotan global, di antara dribel dan gol, di antara para pesohor lapangan hijau dan jutaan mata penggemar sepak bola dunia.

Wakatobi, yang merupakan akronim dari Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko, selama ini memang telah menjadi bisikan kagum para penyelam dunia. Terumbu karang yang menjulang, ikan-ikan tropis yang berenang bebas, dan air laut sejernih kristal menjadikan tempat ini tak ubahnya akuarium raksasa yang hidup.

Wilayah ini adalah bagian dari Coral Triangle, atau Segitiga Terumbu Karang—zona dengan biodiversitas laut tertinggi di muka bumi. Lebih dari 750 spesies karang dan 900 spesies ikan menjadikan setiap penyelaman di Wakatobi sebagai pengalaman spiritual tersendiri.

Di beberapa titik, visibilitas bawah laut bisa mencapai lebih dari 30 meter—cukup untuk melihat keindahan karang dan gerombolan ikan seolah dalam pelukan cahaya.

Bagi para penyelam, Wakatobi adalah tempat ziarah. Bagi para snorkeler, ini adalah permukaan mimpi. Dan bagi para ilmuwan laut, ini adalah laboratorium alam yang terus menyimpan keajaiban.

Keping Surga yang Nyaris Terlupakan

Namun Wakatobi bukan hanya tentang apa yang terlihat, melainkan tentang apa yang tersisa. Ketika begitu banyak laut di dunia telah berubah menjadi kawasan industri, pelabuhan penuh limbah, atau resort penuh hiruk-pikuk, Wakatobi tetap hening.

Ia tak menolak dunia, tapi juga tak tunduk padanya. Ia berdiri di tengah: menjadi rumah, menjadi sekolah, menjadi altar kecil bagi siapa saja yang masih percaya pada keindahan yang tak dikomersialkan.

Suku Bajo, sang penjelajah laut, telah lama hidup di sana. Mereka tidak hanya mengenali arus dan bintang, tapi juga tahu kapan harus berhenti memancing, dan kapan laut sedang berduka. Di tangan mereka, konservasi bukan proyek, melainkan tradisi. Warisan.

Maka ketika Juventus mengangkat Wakatobi dalam satu unggahan, itu bukan sekadar bentuk penghormatan. Itu adalah panggilan. Sebuah seruan lembut dari surga kecil yang tersisa di planet ini. Sebuah bisikan dari lautan biru yang masih bernapas.

Barangkali Wakatobi adalah the last frontier, batas terakhir tempat kita masih bisa melihat laut sebagaimana mestinya—liar, murni, penuh warna, dan tak tersentuh ambisi. Di dunia yang bergerak terlalu cepat, Wakatobi adalah jeda. Di bumi yang penuh luka, ia adalah perban yang pelan-pelan kita lupakan.

Dan mungkin, tanpa kita sadari, ilustrasi pemain Juventus yang menyelam itu bukan sekadar gambar. Ia adalah cermin—yang memperlihatkan bahwa keindahan tak akan bertahan jika hanya dipuji tanpa dijaga. Bahwa keajaiban bisa hilang diam-diam, sementara kita sibuk bersorak untuk hal-hal yang lebih bising.

Semoga Wakatobi dijauhkan dari tambang, dihindarkan dari keserakahan manusia untuk mengeruk bumi dan menjual masa depan demi keuntungan sesaat.