
PM Singapura, Lawrence Wong
Pemerintah Singapura tampaknya paham betul soal ini. Begitu muncul isu strategis—seperti perang tarif atau gangguan pasokan—mereka segera memberi tanda bahwa negara hadir. Tidak menunggu semuanya sempurna. Cukup memberi sinyal: kami tahu, dan kami bersiap.
Setelah itu, masyarakat tak lagi membutuhkan kepastian mutlak. Mereka hanya ingin tahu apakah pemerintah memahami risikonya, punya rencana cadangan, dan siap menjelaskan langkah-langkahnya secara terbuka.
Semuanya, tentu, harus disampaikan dengan bahasa yang bisa dijangkau semua lapisan. Bukan jargon teknis, tapi kalimat yang bisa dipahami oleh petani di Bone atau buruh di Bekasi. Kalimat yang jujur, tidak menakut-nakuti, tapi juga tidak menyembunyikan apa-apa.
Indonesia bukan negara kecil. Tapi besar tak selalu berarti siap. Dan besar tak menjamin negara bersuara. Sebab dalam dunia yang gaduh, kekuatan tidak selalu hadir dalam bentuk kuasa—kadang justru dalam bentuk kejelasan.
Dari negeri kecil bernama Singapura, kita belajar bahwa berbicara bukan kelemahan. Bahwa diam, dalam momen genting, bisa menjadi bentuk pengabaian. Dan bahwa kepemimpinan bisa dimulai dari satu mikrofon, satu kalimat, satu keputusan: untuk tidak diam.
Kita belajar bahwa dalam menghadapi krisis, hal pertama yang dibutuhkan rakyat adalah tanda. Bukan sekadar keputusan akhir, tapi arah. Negara seharusnya tidak menunggu masalah memuncak untuk berbicara. Ia perlu hadir sejak awal: memberi sinyal bahwa ia paham, memberi gambaran tentang apa yang sedang terjadi, dan menjelaskan langkah-langkah yang disiapkan.
Pemerintah seharusnya menjaga irama komunikasi. Tidak sekali lalu menghilang. Rakyat tidak butuh pidato panjang setiap hari. Tapi mereka butuh rasa ditemani—melalui kejelasan, melalui pembaruan informasi, melalui kalimat-kalimat yang jujur dan mudah dipahami.
Dan ketika negara bicara, biarlah suara itu datang dari tempat yang tahu arah. Bukan dari keraguan, bukan dari keterpaksaan. Tapi dari keyakinan bahwa kepercayaan publik tidak dibentuk dalam diam, melainkan dalam penjelasan yang terbuka dan bertanggung jawab.
Dalam sebuah esai tentang bahasa dan kekuasaan, filsuf Jürgen Habermas pernah menulis bahwa “legitimasi politik dibentuk melalui ruang publik yang rasional dan terbuka.” Tanpa komunikasi yang jelas dan jujur, kata Habermas, negara kehilangan dasarnya untuk dipercaya. Kekuasaan yang tak bicara akan dilihat bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai bayang-bayang yang menakutkan.
Karena kata-kata, bila diucapkan tepat waktu, bisa menjadi jangkar di tengah badai. Dan jangkar itulah yang kini sedang kita cari.
*Penulis adalah blogger, peneliti, dan Digital Strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini, tinggal di Bogor, Jawa Barat.