News

Soal Krisis Pangan, Peneliti Unhas: Sagu Jalan Keluarnya

Dorothe Agnes Rampisela

UNHAS TV, Makassar - Perubahan iklim yang begitu cepat menjadi ancaman serius bagi dunia. Tidak hanya seputar naiknya permukaan laut, tetapi juga terkait ketersediaan pangan.

Beras, jagung, dan gandum yang selama ini diandalkan dan menjadi bahan pangan utama, ternyata tidak bisa cepat beradaptasi dengan perubahan iklim. Ini berarti, beras, jagung, dan gandum, rentan tidak tersedia dalam jumlah yang cukup.

Terkait hal itu, peneliti pangan dan Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Prof. Dr. Ir. Dorothea Agnes Rampisela M.Sc, punya jalan keluarnya. Sagu.

Ya, sagu. Sagu adalah salah satu bahan pangan Indonesia yang banyak mengandung bernutrisi dan bisa diolah menjadi berbagai jenis makanan. Sagu bisa menggantikan beras sebagai sumber utama karbohidrat.

Sagu juga moderat dengan perubahan iklim dan dapat tumbuh di berbagai kondisi lahan. Menanam sagu juga tidak perlu merebut lahan lain, bahkan di pesisir Indonesia telah banyak dipenuhi sagu.

Menurut data Perhimpunan Pendayagunaan Sagu Indonesia (PPSI), produksi sagu nasional dapat mencapai sekitar 400.000 ton per tahun. Indonesia merupakan penyumbang terbesar sagu ke dunia sekitar 55 persen, disusul Papua Nugini dan Malaysia masing-masing 20 persen. Negara -negara lainnya sebanyak 5 persen.

Prof. Agnes menyampaikan, sagu juga menyehatkan. Sagu aman dikonsumsi secara terus menerus dan dapat terurai dengan mudah, karena 98 persen kandungan sagu adalah karbohidrat. Hanya 0,2 gram protein yang terkandung dalam 100 gram sagu.

Indeks glikemik (IG) sagu juga lebih rendah dibanding nasi. IG sagu 50, hampir setara dengan IG nasi merah. IG Nasi putih 92, roti 93, kentang 85, dan mie instan 73. IG adalah ukuran seberapa cepat suatu pangan meningkatkan kadar glukosa darah setelah dikonsumsi. Ini membuat sagu sangat aman dikonsumsi oleh penderita diabetes agar sebab membuat gula darah tetap stabil. Sagu juga bersifat anti alergi.

"Penjual bakso di Makassar, sudah banyak menggunakan sagu sebagai bahan pokok pembuatan bakso. Menurut mereka, sagu membuat bakso menjadi warna pink, sehingga menimbukan persepsi kalau bakso itu daginnya banyak," kata Prof Agnes.

Kelebihan lain sagu yakni dapat diolah menjadi gula. Bagi penyuka makanan manis, dapat mengkonsumsi gula sehat berbahan dasar sagu.

"Salah satu cita-cita saya yakni membuat biskuit berbahan sagu agar anak-anak dapat menikmati camilan sehat," ujar penerima Anugerah Academic Leader oleh Ditjen Diktiristek, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2023.

Prof Agnes menghimbau pemerintah agar lebih giat mengembangkan budidaya sagu karena sagu adalah bahan pangan masa depan. Pemerintah seharusnya memberikan lahan dan akomodasi yang layak bagi pembudidayaan Sagu.

"Sagu gampang sekali tumbuh, tidak perlu ada petaninya. Di Papua sagu tumbuh di hutan. Di Sulawesi sagu itu semi budidaya. Saya rasa pemerintah harus lebih memperhatikan budidaya sagu ini. Daripada memberikan bantuan beras, terigu, mie instan, kenapa tidak memberikan sagu sebagai bantuan?" ungkapnya.

Sagu pun dapat disimpan lama tanpa gudang penyimpanan karena sagu tersimpan baik di dalam batang pohon. Daya tahan lagu di pohon, jauh lebih lama daripada tepung dan beras.

Menurut Prof Agnes, cukup dengan pengadaan lahan luas, sagu akan dapat tumbuh dengan sendirinya. Sagu dapat tumbuh mudah di tempat tergenang, pesisir atau bahkan dalam kekeringan sekalipun. Berbeda dengan padi yang dapat gagal panen jika terkena air berlebih atau kekeringan.

Kerumitan yang dialami pemerintah mengimpor gandum akibat konflik Rusia-Ukraina, sebenarnya bisa diatasi bila Indonesia punya pangan sagu yang cukup.

Agne menyebutkan, gaya hidup yang lebih sehat bisa diawali dengan konsumsi sagu. Kesadaran akan kesehatan bisa diimbangi dengan pengenalan manfaat sagu sebagai sumber pangan utama.

Misalnya, makanan kapurung itu karbohidratnya sedikit, sayurnya mengandung vitamin dan mineral, lauknya punya banyak protein. Seminggu sekali makan kapurung adalah contoh pembiasaan makan makanan sehat.

Dari sisi bisnis, sagu punya potensi besar dan sangat menguntungkan. Dengan hanya 35 pohon sagu, petani bisa mendapatkan Rp 25 juta sebulan dengan bila harga sagu sekitar Rp 15 ribu per kilo. Itu berarti, petani bisa mendapatkan Rp 300 juta setahun.

Satu batang sagu pun dapat memberikan makan satu keluarga dalam satu tahun.
Agnes yakin dengan hanya 50 juta hektar sagu, bahan pangan seluruh Indonesia sudah bisa terpenuhi.

"Kami peneliti sagu sudah mau pensiun. Harapan kami agar anak-anak muda dapat tumbuh bersama sagu, dan itu harus dimulai dari Unhas karena Unhas sudah menyediakan fasilitas penelitian," ujarnya.

Ia berharap Unhas menjadi pelopor penelitian sagu di Indonesia sebagai bahan pangan pengganti bahan pangan impor. "
Universitas Hasanuddin harus punya misi memperkenalkan sagu kepada dunia," katanya.(uswa)