Polhum

Soroti Fenomena Ormas, Preman, dan Peran Negara, FISIP Unhas Hadirkan Ian Douglas Wilson

MAKASSAR, UNHAS TV – Fenomena kekerasan yang melibatkan organisasi kemasyarakatan (Ormas) dan aksi premanisme terus menghantui masyarakat. Peran negara dalam menjamin rasa aman seringkali dipertanyakan, seolah tak hadir secara utuh di tengah kekacauan ini.

Semakin maraknya aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok tertentu, baik itu atas nama Ormas maupun individu dengan cara-cara preman, telah menjadi perhatian publik.

Berbagai insiden, mulai dari perusakan, penganiayaan, hingga pemaksaan kehendak, seolah tak hadir secara utuh. Kondisi ini menciptakan rasa khawatir masyarakat yang seharusnya merasa aman di bawah perlindungan negara.

Melihat fenomena tersebut, Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas menggelar kuliah tamu bertema "Ormas, Preman, dan Negara yang Tak Hadir Utuh" pada Rabu (28/5/2025). Kegiatan ini kerja sama Departemen Ilmu Politik dengan Penerbit Marjin Kiri.

Acara yang digelar di Aula Prof Syukur Abdullah FISIP secara hybrid ini menghadirkan peneliti dan penulis buku “Politik Jatah Preman,” Ian Douglas Wilson, yang juga merupakan dosen senior politik internasional. 

Dalam kuliahnya, Wilson menyebut bahwa kajian tentang aktor informal yang disebut preman ini tidak pernah usang, sejak zaman Belanda hingga sekarang.

"Preman bukan sebagai tindakan kriminal, tapi premanisme adalah sistem terstruktur, di mana kekuatan informal sangat memengaruhi politik," ungkap Wilson.

Ia menjelaskan bahwa premanisme bukan hanya soal pinggir jalan atau kaum marjinal, tetapi juga struktur dan relasi politik.

Contoh nyata dapat dilihat dari pos siskamling, di mana terjadi relasi antara masyarakat secara horizontal, cara mendisiplinkan warga lokal, dan mengoordinir menjadi bagian dari negara yang tidak harus mengakibatkan kriminalitas.

Moderator kegiatan, dosen Ilmu Politik Unhas Andi Ali Armunanto SIP MSi, menambahkan perspektif menarik tentang kondisi di Indonesia.

"Menariknya Indonesia bahwa preman ini tidak pernah melampaui batas, artinya mereka tetap berada dalam koridor Undang-Undang," ujar Andi Ali.

Ia melanjutkan, "Ketika mereka melampaui batas bisa ditindak secara represif, ataupun istilahnya Pak Ian mereka bisa didisiplinkan, lalu diinstitusionalisasi dalam bentuk institusi tertentu melalui Ormas ataupun sesuatu yang dikelola oleh negara."

"Saya rasa ini menjadi unik bagaimana negara kita mengelola kelompok-kelompok seperti preman ini, dan ini tentu berbeda karakteristiknya dengan Filipina, Thailand, justru di Indonesia dia dikelola sebagai bagian integral dari sistem politik kita," jelasnya.

Wilson juga menjelaskan kepada peserta bahwa pada tahun 90-an, preman mulai dikonotasikan sebagai kriminal, terutama ketika bekerja sama dengan institusi negara untuk mengintimidasi, yang mencerminkan persepsi masyarakat sendiri.

Di tahun 2000-an, banyak kasus kekerasan dan korban jiwa dalam tatanan yang melibatkan preman dan Ormas. Salah satu contoh kasus adalah Ormas Betawi, di mana warga Betawi yang termarjinalisasi menuntut apa yang mereka mau.

"Ada keributan, Ormas menggunakan cara-cara koersif, menuntut jatah atas legitimasi, membela agama, suku, dengan logika tunggal yang terlegitimasi pasca Reformasi," jelas Wilson. Menurutnya, solusi untuk mengatasi persoalan ini adalah penegakan rule of law.

"Kalau saya kira sederhana tapi tidak sederhana, adalah penegakan rule of law, karena preman itu bukan kategori kriminal. Yang kriminal itu adalah perilaku tertentu, perilaku yang melanggar aturan ya harus bertindak dan tidak pandang bulu. Jangan sampai ada lagi Ormas yang pakai atribut bisa bertindak di luar hukum yang ada," tegas Wilson.

Menutup kuliah tamu ini, moderator Andi Ali Armunanto menyimpulkan bahwa premanisme sebagai relasi, bukan berada di luar negara, tetapi menjadi bagian dari sebuah relasi kekuasaan, baik di tingkat elit maupun jalanan. "Ini menjadi modal politik yang selalu dicari di kelas politik dan sosial," tutupnya.

(Amina Rahma Ahmad / Rizka Fraja / Unhas.TV)