UNHAS.TV - Di balik dinding kaca Stanford University yang menghadap ke pepohonan Redwood, para ilmuwan dari berbagai benua menyimak satu nama yang mungkin asing bagi sebagian dari mereka: Universitas Hasanuddin.
Tapi siang itu, di ruang pertemuan School of Sustainability, kampus Makassar ini tampil bukan sebagai tamu yang malu-malu. Mereka membawa peta besar masa depan, proposal konkrit, dan satu gagasan yang akan melampaui benua: pendirian Unhas–Stanford Centre.
Prof. Dr. Eng. Adi Maulana berdiri di depan layar presentasi. Wakil Rektor Bidang Kerja Sama, Inovasi, Kewirausahaan, dan Bisnis Unhas ini tak sedang menjual mimpi kosong. Ia menawarkan kolaborasi nyata, menghubungkan Wallacea dan Silicon Valley dalam simpul riset bersama.
“Kami tidak datang dengan proposal yang hanya berbunyi ‘kami ingin bekerja sama’. Kami datang dengan rekam jejak, dengan tim lintas disiplin, dan dengan laboratorium hidup bernama Indonesia Timur,” ujar Adi di hadapan pimpinan fakultas dan lembaga riset Stanford.
Membangun Jembatan Pengetahuan
Pertemuan di Stanford merupakan puncak dari rangkaian kunjungan tim Unhas ke tiga universitas papan atas di Amerika: University of Hawaii, UC Berkeley, dan Stanford sendiri. Namun, justru di kampus terakhir inilah, kerja sama itu mencapai bentuk paling konkret.
Stanford menyambut proposal Unhas dengan antusias. Mereka menyetujui pendanaan awal sebesar Rp5 miliar untuk tiga tahun riset kolaboratif, khususnya dalam isu pertambangan berkelanjutan, energi terbarukan, dan perubahan iklim.
Riset ini akan dikelola bersama Mineral-X, lembaga riset yang menjadi rujukan global dalam sustainable mining, dan mendapat dukungan dari industri tambang dunia.
“Unhas telah ditunjuk sebagai Center of Excellence untuk komoditas nikel di Indonesia. Kami punya prodi Geologi, Pertambangan, Metalurgi, dan Kimia. Kami punya lokasi, SDM, dan pengalaman,” ujar Prof Adi. “Yang kami butuhkan adalah mitra global untuk masuk ke jejaring ilmu pengetahuan dunia.”
Stanford melihat keunggulan Unhas bukan hanya dari segi geografis dan potensi sumber daya alam, tapi juga dari pengalaman kolaboratif yang telah teruji. Salah satu buktinya: proyek RISE.
RISE: Dari Lorong Makassar Menuju Forum Global
Dalam forum itu, Dr. Ansariadi, Direktur Kemitraan Unhas, mempresentasikan hasil tujuh tahun kolaborasi RISE (Revitalizing Informal Settlements and their Environment), sebuah riset aksi bersama Stanford yang menyasar kawasan padat penduduk di Makassar.
RISE bukan sekadar riset akademik. Ia merombak cara pandang. Dari memperbaiki drainase dan sanitasi hingga mengubah kebijakan kota, proyek ini memperlihatkan bahwa universitas dapat hadir di lorong-lorong kota, bukan hanya di menara gading.
“RISE adalah etalase bagaimana kampus bisa bekerja bersama masyarakat dan pemerintah lokal untuk menciptakan perubahan konkret,” ujar Ansariadi.
Sukses RISE menjadi pijakan untuk kerja sama tahap selanjutnya. Riset baru akan menyasar keterkaitan perubahan iklim dengan persebaran penyakit tropis di wilayah pesisir. Laboratoriumnya: Makassar dan kawasan Wallacea.
Unhas–Stanford Centre: Dari Mimpi Jadi Institusi
Puncaknya adalah persetujuan pendirian Unhas–Stanford Centre, yang akan berlokasi di Kampus Unhas dan diresmikan pada Dies Natalis Unhas, September 2025.
Lembaga ini akan berfungsi sebagai pusat koordinasi riset, pertukaran peneliti, dan pengembangan kapasitas kelembagaan lintas disiplin: dari keberlanjutan tambang, teknologi pangan, tata kota, hingga energi terbarukan.
Tapi lebih dari itu, Unhas–Stanford Centre disiapkan sebagai semacam “panggung dialog ilmiah” yang mempertemukan sains Barat dan kearifan lokal Nusantara.

Di sinilah isu-isu besar seperti perubahan iklim, transisi energi, hingga krisis pangan global akan dikaji bukan hanya dari sudut pandang laboratorium, tapi juga dari realitas sosial budaya masyarakat Indonesia Timur.
Peneliti Stanford akan bekerja berdampingan dengan dosen dan mahasiswa Unhas untuk mengembangkan model-model solusi yang kontekstual, berbasis data lapangan, dan bisa diterapkan langsung dalam kebijakan publik.
Akan ada program summer school dan research clinic tiap tahun, di mana mahasiswa Unhas bisa terlibat dalam riset bersama mahasiswa pascasarjana Stanford.
Lembaga ini juga akan menjadi inkubator ide, tempat lahirnya inovasi berbasis tantangan lokal, dari pengolahan limbah tambang ramah lingkungan hingga desain ulang pemukiman pesisir yang tangguh terhadap perubahan iklim.
“Yang kita bangun bukan hanya pusat riset, tapi ekosistem kolaboratif tempat ide-ide lintas disiplin bisa bertemu, saling mengisi, dan menciptakan dampak,” ujar Prof. Adi.
“Kami ingin menciptakan ruang di mana mahasiswa Teknik Geologi bisa berdiskusi dengan arsitek kota, pakar bioteknologi bertemu sosiolog, dan semua bekerja pada tujuan yang sama: keberlanjutan.”
Unhas–Stanford Centre akan menjadi wajah baru kolaborasi global: bukan hanya alih teknologi dari utara ke selatan, tapi pertukaran nilai, pengetahuan, dan komitmen untuk masa depan yang lebih adil bagi planet ini.
Lompatan Strategis dari Timur Indonesia
Selain Stanford, Unhas juga merintis dua konsorsium riset lain dalam kunjungan ini. Di University of Hawaii, Unhas menggandeng Prof. Scott Q. Turn dan Prof. Young Cho untuk riset energi berbasis kemiri dan biodiversitas tropis. Sementara di UC Berkeley, diskusi menukik ke hubungan antara perubahan iklim dan penyakit tropis di wilayah pesisir.
Kini, Unhas tercatat telah memiliki 22 konsorsium riset internasional, melonjak tajam dari hanya tiga pada tahun 2022. Lompatan ini terjadi berkat strategi pembentukan Thematic Research Group (TRG) yang dicanangkan Rektor Unhas, Prof. Jamaluddin Jompa.
“Sulit menembus tembok universitas top AS,” ujar Adi. “Tapi ketika kita datang dengan ekosistem riset yang matang dan peta jalan yang jelas, kita tidak hanya diterima, tapi dipercaya.”
Langkah Unhas mendirikan Unhas–Stanford Centre adalah langkah sejarah. Ia bukan hanya soal membangun gedung riset baru atau menambah portofolio internasional. Ini tentang membuktikan bahwa kampus dari timur Indonesia bisa menjadi pelopor global dalam isu keberlanjutan.
Dari lorong-lorong Makassar yang pernah menjadi titik mula proyek RISE, kini langkah itu menyeberangi samudra. Dari Wallacea ke Silicon Valley, dari kampus merah Unhas ke ruang-ruang laboratorium Stanford, terbentang jembatan pengetahuan yang sedang dibangun—batu demi batu, riset demi riset.
Dan mungkin, di tahun-tahun mendatang, bukan hanya mahasiswa Makassar yang pergi ke Stanford. Tapi dunia pun akan datang ke Unhas.