MAKASSAR, UNHAS.TV - Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan fakta menarik bahwa mencontek adalah praktik yang masih sering dilakukan di sejumlah satuan pendidikan mulai pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana menyebutkan, ditemukan praktik mencontek pada 78 persen sekolah dan 98 persen kampus.Survei itu juga mengungkap praktik pllagiarisme yang dillakukan guru/dosen di satuan pendidikan yakni kampus 43 persen dan sekolah 6 persen
"Dalam kejujuran akademik, kasus menyontek masih ditemukan pada 78 persen sekolah dan 98 persen kampus. Dengan kata lain, menyontek masih terjadi pada mayoritas sekolah maupun kampus," ujarnya.
Pernyataan itu disampaikan pada acara peluncuran SPI Pendidikan 2021 di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Kamis (24/2/2025). Acara ini juga dirangkaikan dengan penandatanganan komitmen bersama penyelenggaraan pendidikan antikorupsi.
SPI Pendidikan 2024 ini dilakukan pada rentang waktu 22 Agustus 2024 sampai 30 September 2024 di sejumlah jenjang pendidikan mulai pendidikan dasar dan menengah hingga perguruan tinggi di seluruh wilayah Indonesia yang mencakup 38 provinsi dan 507 kabupaten/kota.
Survei dilakukan pada 36.888 satuan pendidikan yang mencakup 17.698 SD, 16.239 SMP, 1.722 SMA, dan 1.238 perguruan tinggi dan melibatkan 449.865 responden yang terdiri atas 141.134 peserta didik, 101315 orangtua/wali murid, 161.808 tenaga pendidik (guru/dosen), serta 45.608 kepala sekolah dan pimpinan perguruan tinggi.
Survei dilakukan dengan dua metode yakni Online (WA dan email blast, serta Compyter Assisted Web Interview) dan metode hybrid (Computer Assisted Personal Interviewing).
Adapun tiga unsur pengukuran yang dilakukan pada survei ini yakni integritas karakter peserta didik, integritas ekosistem pendidikan (keteladanan, kepemimpinan, profesionalitas, resilensi, dukungan, dan inklusivitas), dan integritas tata kelola di sektor pendidikan (akuntabilitas, transparansi, partisipasi, efektivitas, efisiensi, kepatuhan, keadlian, independensi, dan penegakan aturan).
Survei ini juga menemukan sejumlah praktik gratifikasi yang diterima oleh guru, kepala sekolah, dosen, dan pimpinan perguruan tinggi. Dari survei itu, masih banyak yang menilai gratifikasi atau hadiah dari siswa atau wali murid adalah sesuatu yang wajar diterima.
Dari temuan itu sebanyak guru/dosen 30 persen menerima gratifikasi, dan kepala sekolah/rektor 18 persen. Ada pula 65 persen orangtua siswa memberikan bingkisan/hadiah kepada guru saat hari raya atau kenaikan kelas. Sebanyak 22 persen guru menerima bingkisan untuk mengubah nilai peserta didik menjadi bagus atau agar lulus.
Pada pengukuran pengadaan baranng dan jasa juga ditemukan praktik pimpinan menentukan vendor pelaksana/penyedia berdasarkan relasi pribadi, yang jumlahnya 43 persen terjadi sekolah dan 68 persen terjadi kampus,
Pada praktik satuan pendidikan menerima komisi dari vendor, ditemukan 26 persen terjadi sekolah, 68 persen di kampus. Praktik pengadaan/pembelian dilakukan secara kurang transparan, ditemukan 75 persen terjadi sekolah, 87 persen di kampus.(*)